Lihat ke Halaman Asli

Harris Maulana

TERVERIFIKASI

Social Media Specialist

"Ride Sharing" Adalah "Kunci" untuk Membuka Kemacetan di Jakarta

Diperbarui: 12 November 2017   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mariam Jafaar, Managing Director Boston Consulting Group Asia Pacific sedang memaparkan hasil presentasinya (Foto Koleksi Pribadi)

Sebuah survey tentang kemacetan di 9 Kota Besar Asia (Jakarta termasuk didalamnya) yang diadakan Uber dan The Boston Consulting pada Juli -- Agustus 2017 lalu dan melibatkan sekitar 9000 responden, menunjukkan bahwa rata-rata setiap warga menghabiskan waktu selama 52 menit karena terjebak macet dan 26 menit untuk mencari tempat parkir setiap harinya.  Kondisi di Jakarta lebih parah lagi, rata-rata menghabiskan waktu 1,5 jam karena macet (68 menit) dan mencari tempat parkir (21-30 menit). Jika dikalkulasikan mencapai 22 hari dalam setahun. Mengalahkan jatah cuti setahun yang cuma 14 hari!

Pemilik mobil juga mengeluh karena terlalu banyak waktu terbuang karena macet (84%), kesulitan menemukan lahan parkir (60%) dan biaya parkir yang mahal (45). Sebanyak 72% responden di Asia mengaku terlambat atau melewatkan sebuah acara penting karena macet.

Sedangkan 74% responden di Jakarta mengaku melewatkan dan sangat terlambat mengikuti acara penting. Acara yang paling sering terlewatkan adalah pernikahan sebanyak 53%, control kesehatan dengan dokter 36%, wawancara kerja 27%, kedukaan 26%, dan konser musik 22%. Itu kasian sekali ya yang wawancara kerja. Sudah pasti tidak bakalan diterima tuh, baru wawancara aja sudah terlambat, apalagi saat sudah bekerja.

Sebagai seorang komuter yang bekerja di Jakarta dan tinggal di luar kota (Bogor) saya merasakan betul parahnya kemacetan di Jakarta. Apalagi selama ini saya bekerja di kawasan CBD (Central Business Distrik) yang merupakan biangnya kemacetan. Seakan tiada hari tanpa macet. Mulai dari hari senin yang sibuk, Jakarta sejak pagi hari sudah padat, hingga hari jumat menjelang weekend sampai larut malam pun masih terjadi kemacetan. Apalagi jika ditambah hujan. Lengkap sudah. Saya hanya bisa menatap dari ketinggian gedung kantor saat malam tiba, warna merah dari lampu rem belakang mobil yang macet dan warna putih dari lampu depan mobil arah sebaliknya. Bagaimana dengan sabtu dan minggu? Hampir sama saja. Ternyata hari libur pun mereka jalan-jalan ke mall yang berada pusat Jakarta juga.

Saya sendiri menerapkan sikap yang setidaknya dapat mengurangi kemacetan tersebut. Dari rumah di Bogor saya menggunakan mobil untuk pergi ke Stasiun Bogor. Mengapa menggunakan mobil? Karena saat berangkat dari rumah saya juga mengantar anak ke sekolah dan istri ke tempat kerjanya. "Ride Sharing" ini saya lakukan agar dapat mengurangi kemacetan dan juga lumayan ngirit. Setelah menyimpan mobil di stasiun, lalu saya naik kereta CommuterLine menuju tempat kerja di Jakarta. Sesampainya di Jakarta saya menggunakan TransJakarta atau jasa ojek online untuk menuju tempat kerja atau aktifitas lain. Saya melihat sudah banyak dari kawasan komuter yang menerapkan system ini, terbukti dari parkiran mobil dan motor yang selalu penuh di setiap stasiun. Bukan hanya mobil biasa, mobil mewah pun cukup banyak.

Namun, sesampainya di Jakarta, tetap saja, mobil masih banyak. Kemacetan tidak bisa dihindari. Saya lihat disetiap mobil isinya hanya terdapat 1-2 orang saja. Mungkin kalau yang berdua satunya lagi pacar, pasangan atau sopir. Tidak ada tuh saya lihat satu mobil pribadi isinya full 4-7 penumpang.

Saya mulai menganalisa mengapa mereka masih tetap menggunakan mobil pribadi pada jelas-jelas kondisi jalan di Jakarta bakalan macet. Saya menarik kesimpulan bahwa mereka adalah "kelas menengah" yang masih ingin diakui keberadaannya oleh lingkungannya. Mereka tinggal di sekitar Jakarta, 1-2 jam menuju tempat kerja. Mereka terlalu gengsi keluar rumah menggunakan kendaraan umum. Posisi jabatan mereka di kantor level manager hingga senior manager. Kalau level direktur atau CEO tidak mungkin karena mereka bisa datang agak siang. Mereka terlalu egois kalau naik kendaraan umum, namun kalau ada diskon gede di mall pasti ikut antri. Jika ingin saya tambahkan mereka adalah termasuk golongan "kelas menengah ngehe", kelas menengah yang menyebalkan.

Bagaimana solusi agar mereka jera dan kapok membawa mobil ke kantor? Gampang aja sih. Tinggal naikin tarif parkir gedung kantor jadi 2 sampai 3 kali lipat dari sekarang. Buat SK Gubernur tentang itu. Tapi "kelas menengah ngehe" ini pintar. Mereka pasti mencari parkir-parkir liar dan illegal.

Alternatif lain kita membuat TransJakarta Premium yang harganya 2-3 kali lipat dari sekarang. Jadi hanya orang-orang "kelas menengah ngehe" ini yang mau naik karena tidak mau berdesakan dengan penumpang lainnya. Tapi apakah mereka masih mau? Ada diskonan aja masih antri.

Memang dilematis ya dalam menentukan kebijakan tentang lalu lintas di Jakarta. Sisi lain ingin Jakarta lancar tanpa macet. Sisi lain ada kebijakan mobil murah (LCGC) yang membuat setiap orang yang mempunyai slip gaji dapat mencicilnya. Mobil laku, industri meningkat, perekonomian membaik. Dilematisnya mobil laku, kemacetan di mana-mana.

Solusi lain dengan "pastenisasi" jalan-jalan yang disinyalir menjadi biang kemacetan di Jakarta selama ini. Pastenisasi yang dimaksud adalah dengan membuat jalan layang di atas jalanan yang macet. Saat ini sudah dilakukan dan selesai di Jalan Antasari dan Jalan Satrio atau Kasablanca. Namun system ini perlu perjuangannya juga dalam pembangunannya yang membuat jalanan menjadi tambah macet dan orang-orang yang lewat menjadi menderita. Seperti yang terjadi saat ini di kawasan Jalan MT Haryono yang membuat flyover dan underpass.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline