Lihat ke Halaman Asli

Hariadhi

Desainer

Tumpangsari Insidensial

Diperbarui: 31 Oktober 2020   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

"Sok atuh, dicoba," Pak Odin menawarkan dalam logat Sunda yang kental, sebuah nanas madu yang luar biasa besarnya. Saya baru tahu kalau nanas yang dipetik dan dimakan langsung di kebun berbeda jauh dengan yang kita beli di supermarket. Airnya menetes-netes dan lengket. Rasanya manis luar biasa, tidak ada rasa kecut atau tajam di lidah. Dari jarak satu meter saja, wanginya menusuk ke hidung.

Dok. pribadi

Pak Odin terus memanen nanasnya yang berukuran besar. Biasanya nanas madu hanya berukuran sekepalan tangan, namun demikian rasanya yang manis mengimbangi kekurangan ukurannya. Tapi di Subang ini, nanasnya bisa berukuran 2-3 kali lebih besar dari nanas madu biasa. Tidak ada tanda-tanda kekurangan unsur hara dan air, padahal letak kebunnya berdampingan dengan kebun sawit.

Dok. pribadi

"Itu punya PT," sahutnya pendek saat saya bertanya siapa pemilik sawit yang rimbun, diselingi tanaman paku, talas, dan kadang ubi jalar itu. Tanahnya tidak terlihat gersang sama sekali, malah rumput tumbuh subur dan lembab, tidak seperti tuduhan bahwa kebun sawit menggurunkan lahan.

Dok. pribadi

"Alhamdulillah petani di sini asal ulet, makmur," kata salah seorang petani lainnya saat saya terkagum-kagum melihat motor sport baru yang ia kendarai masuk ke dalam rimbunnya kebun. Kontras sekali dengan bayangan petani miskin yang selalu digembar-gemborkan di media maupun media sosial.

"Tidak usah bayar, ambil saja. Panen saya masih banyak," tolak Pak Odin saat saya tawarkan lembaran hijau uang Rp 20.000 ke keranjangnya. "Kamu ke sini teh, meneliti, mahasiswa?" Tanyanya menyelidik.

"Ngga, Pak. Saya penulis.  Buat dibaca orang luar."

"Bagus, bagus. Kasih tahulah orang luar hal bagus soal kita, jangan yang jelek-jelek terus," salah seorang temannya menimpali.

Memang kebun sawit yang saya temui ini adalah kebun milik perusahaan. Namun saya google di Subang sebenarnya banyak kebun sawit milik petani kecil. Dan keberadaan kebun-kebun sawit di sini mendorong pendirian fasilitas umum, salah satunya jalan. Kebun sawit yang ada membantu membuka isolasi ke tempat mereka tinggal.

Dok. pribadi

Nyaris seluruh jalan utama dari Subang ke Sumedang dicor dan diaspal mulus, karena di manapun ada kebun sawit, maka muncul kebutuhan akan jalan untuk memfasilitasi truk-truk mengangkut hasil panen mereka. Dan di tepi jalan yang mulus luar biasa itu, kebun sawit, teh, dan warung penjual nanas madu terlihat begitu damai berdampingan.

Perjalanan saya dari Subang ke Sumedang tidak hanya beroleh cerita sawit. Saya juga belajar begitu sederhana dan efisiennya kehidupan para petani di bumi Parahyangan. Setelah jauh berburu kuliner unik hingga ke Wado, saya akhirnya menemukan masakan bernama kadedemes.

"Kadedemes teh sebenarnya masakan memalukan. Masa orang kota masih saja makan kulit singkong. Kaya ga ada bahan masakan lain saja. Kebangetan. Tah eta ta sumber nama kadedemes, artinya kebangetan. Hahaha!"  Terang Pak Manyar.
 
Kadedemes sebenarnya bagian dalam kulit singkong yang sering dibuang saat bagian dalam umbinya dinikmati. Namun penduduk lokal memanfaatkan kulit yang harusnya terbuang ini menjadi bahan tumisan. Mirip prinsip diet zen, bagian kulit sekalipun tidak boleh dibuang-buang. Alam menyediakan seluruh bagian dari tumbuhan untuk dikonsumsi, dengan berbagai khasiatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline