Lihat ke Halaman Asli

Dian Chandra

Arkeolog mandiri

Aku, Burung Berbulu Hijau, dan Pecahan Keramik || Cerpen Dian Chandra

Diperbarui: 21 Oktober 2023   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Greetingsisland.com

Aku masih giat mengais tanah. Mencari-cari pecahan keramik, yang mungkin memang terselip di sana. Ahh, tidak. Aku yakin betul, keping keramik itu memang berada di sini, di bawah tanah hitam, yang jauh di dalamnya dihuni pasir-pasir timah. Lalu, apakah aku harus mencari hingga sedalam itu?

Aku menyusuri sekitar. Ada tanaman kenudek, yang ranting-rantingnya telah dihuni oleh laba-laba hitam, yang sibuk memintal jaring. Ada kawanan semut merah, berbaris rapih, sembari memanggul remah-remah bangkai burung hantu, yang mungkin mati tadi malam. Sedang di sana, pada salah satu ranting pohon mangga, bertengger seekor burung dengan bulu-bulunya yang berwarna hijau. Burung itu sedang menatapku.

"Apa kau tak berlebaran?" tanya Burung itu, ia sungguh sibuk mematuk-matuk badannya. Mungkin ada sepasang kutu bermukim.

"Malas," jawabku asal. Kudengar burung kecil itu tertawa. Tawanya sungguh menjengkelkan. Aku tak tahan hendak memakinya, sembari melemparnya dengan cetok yang sedang kupegang.

Rupanya burung itu tahu maksudku. Si kecil berparuh itu segera bersuara, "Kau tak perlu marah padaku. Cukup lanjutkan saja urusanmu itu. Sebelum lebaran usai, atau kau tak dapat kesempatan untuk membikin bangga ayahmu!"

Sial. Mengapa burung itu bisa tahu maksudku?

"Aku masih ingat wajahmu saat kau kanak-kanak. Dulu kau selalu gembira. Senang memamerkan nilai-nilai sekolahmu yang selalu sempurna itu. Kau juga gemar memamerkan baju lebaranmu," celetuk burung bermata kelam itu. Ia masih saja mematuki bulu-bulunya. Mungkin benar ada sepasang kutu di sana.

"Tahu apa kau tentang aku?" tanyaku sembari menyapu-nyapu tanah dengan kuas. Sesuatu berkilau di sana.

"Aku tahu banyak tentangmu. Kau ingin lebaranmu kembali terulang, bukan? Saat-saat ayahmu bangga menatapmu. Sebab, kau selalu menyenangkan hatinya, lewat berbagai kemenanganmu di setiap perlombaan catur, cerdas cermat, dan bidang lainnya. Lalu sekarang kau kalah. Lantas kau merasa ayahmu telah berpaling darimu. Tak lagi menganggapmu sebagai anak yang patut dibanggakan. Bukan begitu?" Burung itu dengan santainya berucap, sedang aku tertegun sejenak.

"Apa kau cenayang? Apa kau menguntitku? Ahh, apa aku sudah gila, bagaimana mungkin burung bisa berbicara?" Aku menepuk-nepuk dahi. Lalu menarik napas dan mengembuskannya dengan sangat kasar. Sementara burung itu menatapku dengan pandangan aneh.

"Kau tidak gila. Aku memang dapat berbicara. Ahh, itu tak penting. Sekarang, lekaslah kau temui ayahmu itu. Kau telah berhasil menemukan keping keramik yang kau perdebatkan dengan ayahmu sejak beberapa hari yang lalu. Lekas!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline