Lihat ke Halaman Asli

Ironi Tempat Wisata Legendaris

Diperbarui: 5 September 2017   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada banyak pertimbangan bagi pengunjung ketika mendatangi tempat wisata. Entah itu dekat dari rumah, tiket masuk yang murah, wahana super lengkap, dan lain sebagainya. Atau, ada juga tertarik lantaran menjadi legendaris di sebuah daerah.

            Dua hari yang lalu saya sekeluarga pergi ke sebuah tempat wisata yang tidak jauh dari rumah, makanya bawa sepeda motor. Rencana awalnya tidak ke sini, tapi karena berangkatnya kesiangan, maka dipilihlah opsi ini.

            Sebenarnya, sudah beberapa kali saya ke sana. Orangtua pun begitu. Pasalnya, tempat wisata ini sudah ada puluhan tahun silam. Saya berharap adanya perubahan yang signifikan, tapi ternyata tidak. Kecewa sih iya, karena tiket masuknya lebih mahal ketimbang tujuan awal kami, padahal wahana dan pemandangannya begitu seru.

            Kalau toh tempat wisata itu dijaga keasliannya, mengingat latar legenda Ande-Ande Lumut terjadi di sini, jangan naikkan harga tiket. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya besarnya nominal yang dikeluarkan dengan fasilitasnya, kan? Pantas saja pengunjung tidak begitu ramai.

            Ironi lain yang saya temui di sini adalah adanya papan-papan peringatan tertentu, tapi tidak disediakan fasilitas penunjangnya. Misalkan saja, "Jangan buang sampah sembarangan di tempat wisata ini." Nyatanya, tempat sampah yang disediakan sangat sedikit. Bahkan, di dekat spot-spot orang bersantai pun tidak ada. Alhasil, sisa-sisa pemakaian itu berserakan.

            Atau, ada juga batu yang diukir bertuliskan, "Selamat menikmati kesejukan di tempat ini." Bukannya sejuk, tapi malah gersang, karena kurangnya tanaman di sana. Kalau berdalih untuk mempertahankan keaslian, menanam tanaman tidak bisa dijadikan alasan. Tidak akan merusak objek utamanya, bukan?

            Selain pedagang-pedagang aneh---yang menetapkan harga dengan sangat plin-plan---sedetik segini, detik berikutnya berbeda, hal menggelikan juga terjadi pada para jukir. Ketika membayar tiket masuk, uang yang dibayarkan sudah termasuk jasa parkir, kata petugasnya. Namun, nyatanya ketika memarkir sepeda motor, dimintai nominal yang sama dengan tarif parkir. Jukir berdalih untuk penitipan helm. Saya kira helm tersebut diletakkan di sebuah etalase agar lebih aman. Eh, tahunya tetap dibiarkan tergantung di spion. Aneh-aneh saja. Menunggui kendaraan beroda dua itu otomatis menunggui helm juga, kan?

            Semuanya serba ditariki uang. Jangan-jangan nanti ketahuan kentut juga disuruh bayar? Wkwkwk (without land).

            Ironi lain yang saya temui berasal dari pengunjungnya sendiri, sih. Ada sebuah jembatan gantung dengan tiang-tiangnya berwarna biru. Cukup bagus kalau dibuat spot foto, makanya banyak yang ke sini. Nah, karena tidak terlalu besar, di ujungnya ada papan peringatan, "Maksimal 8 orang."

            Demi keamanan, saya menuruti aturan itu. Kalau ada yang pergi, saya baru ke sana. Sayangnya, tidak semua orang sepatuh---atau, lebih tepatnya mengindahkan dengan membaca tulisan di papan peringatan itu. Ketika saya selesai berfoto, ada puluhan orang di sana! Jelas, jembatan gantungnya oleng tidak keruan, tapi tampaknya mereka tidak peduli.

            Saya geram, tentu saja. Akhirnya saya bergumam kalau orang Indonesia memang minat bacanya rendah! Peringatan sebesar itu tidak tahu. Saking jengkelnya, saya tidak menyadari ada dua mbak-mbak di dekat saya. Mereka menoleh dan tidak jadi melangkahkan kaki. Mungkin, menunggu jembatan gantung itu tidak kelebihan beban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline