Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

Bahasa Palembang Gadungan di Kompas

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1400131605169787293

[caption id="attachment_323776" align="aligncenter" width="511" caption="(ilust kompas epaper)"][/caption]

Membaca berita tentang obrolan tiga orang pria di dalam KA Ekonomi tentang pilihan capres dalam bahasa Palembang pada koran Kompas hari Selasa 13 Mei 2014, membuat saya jadi tersenyum geli. Inilah sebagian kutipan yang tertulis pada paragraf pertama: “Semuo capres ado pro kontranyo.” Pernyataan dalam logat Sumatera Selatan itu di akhir perbincangan tiga lelaki tentang kandidat calon presiden mereka. Apakah yang lucu dalam tulisan tersebut? Tak lain adalah penulisan “semuo” itu. Memang benar banyak kata Melayu dengan akhiran suara “a” dilafalkan dengan akhiran “o” dalam bahasa Palembang, seperti “ada” menjadi “ado”, “dua” menjadi “duo”, “kita” menjadi “kito”, namun kata “semua” bukan diucapkan dengan “semuo” dalam bahasa Palembang. Ini “perngarangan” dari wartawan yang menulis berita tersebut.

Pasalnya, istilah “semua” dalam bahasa Palembang adalah “galo-galo”, bukan “semuo”. Terkenal istilah sebutan warga Palembang dengan “wong kito galo-galo” yang secara harfiah kurang lebih bermakna “orang kita semuanya”. Pendatang baru di kota pempek yang berasumsi bahwa semua kata harus diakhiri dengan bunyi “o” dalam bahasa Palembang pasti akan jadi bahan tertawaan (setidaknya dalam hati). Ada tulisan lain dalam pemberitaan di Kompas yang mengutip ucapan narasumber dalam logat Palembang yang juga “melenceng” yaitu kata “biso”.

[caption id="attachment_323777" align="aligncenter" width="604" caption="(ilust kompas epaper)"]

14001317341414513873

[/caption]

Pada tulisan tentang keluhan peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di sebuah rumah sakit Palembang, di Kompas tertanggal 24 Maret 2014, terbaca sebagai berikut: “Sekarang kalau ambil obat harus setiap minggu, ndak biso sebulan sekaligus kayak dulu. Pening kepala ini,” kata Syam yang menderita pengapuran tulang. Kata “bisa” sejatinya bukan menjadi “biso” dalam bahasa Palembang. Yang benar, kata “bisa” dalam bahasa Palembang disebut dengan “pacak”. Istilah “biso” dalam bahasa Palembang mengandung permaknaan “racun ular” (disebut ‘bisa’ juga dalam bahasa Indonesia). Istilah “biso” yang bermakna “dapat” biasanya diucapkan oleh pendatang (luar Palembang) dan nampaknya sudah mulai mempengaruhi penutur asli bahasa Palembang yang jadi ikut-ikutan mengatakan “biso”. Anyway, ini tetap keliru dan yang tepat adalah “pacak”.

Kebetulan, saya juga menemukan satu berita lagi di Kompas tentang bisnis rumah panggung rakitan yang menuliskan ucapan pengrajin rumah panggung sebagai berikut: “Wah, hujan. Biso terlambat kirim rumah panggungnya”. Ini terbaca pada lead (paragraf pendahuluan) tulisan berjudul “Meraup Untung Rumah Panggung” pada Kompas tertanggal 3 Maret 2014. Saya yakin, kalau si pengucap adalah orang Palembang asli, pasti dia akan mengatakan “Pacak terlambat kirim rumah panggungnyo.”

Waktu saya berpacaran dengan isteri saya yang orang Palembang dulu, saya sudah mendapat warning (‘wanti-wanti’) tentang bahasa Palembang yang sepertinya semuanya berakhiran dengan dengan suara “o” ini. Petuahnya, janganlah semuanya dihantam-kromo pakai akhiran “o”, sehingga kata “cabe” diucapkan menjadi “cabo”. Kalau pas berada di restoran, gara-gara mau bergaya wong Palembang, terus kita nyerocos “Mang, cabonyo mano?”, wah ini fatal sekali akibatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline