Lihat ke Halaman Asli

Gusti Karya

Dosen Pariwisata dan Pengamat Ekonomi

Upaya Harmoniasasi Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Diperbarui: 20 Mei 2020   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Upaya pemerintah dalam menyelesaikan tumpang-tindih regulasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi investasi seperti kelapa sawit melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dimana kebijakan tersebut menjadi langkah terobosan untuk memadukan keserasian aturan di lapangan serta menyederhanakan regulasi perizinan.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi dasar untuk menghilangkan ego sektoral serta strategi memangkas hyper-regulasi, dimana RUU tersebut berupaya merangkum regulasi dalam satu kesatuan. Kementerian ATR/BPN mempunyai tiga klaster tanggungjawab di dalam RUU Cipta Kerja yaitu PengadaanTanah, Investasi & Proyek Pemerintah, dan Penyederhanaan Perizinan Berusaha.

Tantangan industri sawit adalah data khususnya peta (lahan) yang kerap terjadi overlapping, atau kejelasan peta batas lahan mana yang memang bisa untuk usaha mana yang tidak. Kebijakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi harapan bagi permasalahan legalitas lahan yang merupakan tantangan bagi perkebunan sawit rakyat dalam beberapa tahun terakhir.

Hal tersebut disebakan empat tipe konflik tenurial  perkebunan sawit rakyat dimasukkan ke dalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam KHG Fungsi Lindung, lahan petani masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, dan moratorium kelapa sawit.

Upaya solusi atas permasalahan tenurial yaitu membuat desk petani sawit di Kementerian ATR/BPN, sosialisasi kepada seluruh kantor BPN Prov /Kab, pastisipasi Apkasindo dalam pemetaan dan pengukuran lahan petani, serta pemberian sertifikat gratis untuk lahan pekebun sawit dan proses balik nama secara kolektif.

Apabila permasalahan tenurial tidak diatasi, maka petani akan kesulitan mengikuti Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 yang mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang. Sertifikat ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit, namun hingga saat ini masih banyak petani yang hanya mengantongi SKT/SKGR.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini hendaknya bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada, agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah, tidak berbeli-belit, serta tidak mengeluarkan biaya pengurusan yang tinggi.

Kebijakan RUU tersebut khususnya pada klaster pertanahan merupakan peluang bagi sektor industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar RI untuk mendapatkan kepastian hukum dalam bentuk sertifikasi. Disisi lain, banyak perkebunan sawit yang sudah beroperasi lama dan mengantongi HGU tetapi saat diperpanjang ternyata masuk kawasan hutan. Kondisi tersebut menunjukkan adanya konflik antar peraturan perundangan-undangan yang mengakibatkan terjadinya tumpang-tindih regulasi dan menghambat investasi yang sejatinya bersumber pada konflik kewenangan. Keberadaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja nantinya diharapkan dapat menjadi solusi jitu dalam mengatasi berbagai permasalahan lahan perkebunan sawit di Indonesia.

Sementara bagi pihak yang resisten terhadap RUU Cipta Kerja diharapkan dapat bersama-sama menyatukan visi dan pandangan yang positif dalam mempercepat implementasi RUU Cipta Kerja dalam mengoptimalkan potensi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat berbagai masukan serta langkah kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat akan menjadikan penerapan aturan dan kebijakan dari RUU Cipta Kerja menjadi lebih efektif dan tepat sasaran dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat petani kelapa sawit di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline