Lihat ke Halaman Asli

Gus Noy

TERVERIFIKASI

Penganggur

Sepucuk Surat untuk Bangunan Monumental di Muntok, Bangka

Diperbarui: 29 Juni 2017   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi keluarga gus noy

Bagi saya, menjadi tukang gambar bangunan alias arsitek yang bisa menulis merupakan sebuah anugerah. Menjadi arsitek saja sudah merupakan sebuah anugerah, apalagi ditambah bisa menulis.

Baik menggambar bangunan maupun menulis, keduanya memerlukan konsistensi. Saya masih belajar mengenai perkembangan arsitektur melalui kegiatan di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan. Saya masih tekun membuat rancangan arsitektur, meski sederhana. Dan soal tulis-menulis, bisa bersanding dengan kegiatan saya merancang (mendesain) bangunan.

Paduan antara arsitektur dan tulisan saya lakukan pada pengamatan bangunan. Sebuah tulisan “Robohnya Sejarah Kami” (RSK) merupakan satu contohnya. Tulisan tersebut dimuat di rubrik Opini Harian Bangka Pos pada edisi Selasa, 25 Juli 2005 dengan nama lengkap saya Agustinus Wahyono, S.T., dan terabadikan dalam buku Siapa Mengontrol Siapa (2016).

Melalui RSK saya mengkritisi tanggapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat terhadap gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Gedung Kawilasi Timah sebelumnya adalah Kantor Pusat Pemerintahan (Residen) Bangka, yang bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff. Gedung berlantai dua ini dibangun oleh Kolonial Belanda pada 1915 – saya keliru melihat angka tahun karena faktor kotor pada angka (berlumut kerak) yang saya tulis 1816.

Bangunan monumental, begitulah istilah dalam mata kuliah pilihan saya. Sebuah bangunan disebut monumental, selain memiliki ukuran besar dan bentuk tertentu, juga latar sejarahnya, gaya, dan usianya. Gaya arsitekturnya adalah kolonial. Sedangkan usia sebuah bangunan monumental minimal 50 tahun.

Meskipun kekurangan informasi (referensi) mengenai gedung Kawilasi Timah ini, semisal siapa arsiteknya, saya tetap menuliskannya dalam rangka kepedulian terhadap bangunan bersejarah. Terlebih, pada 2005, Muntok dicanangkan sebagai Kota Wisata Sejarah. Apakah bukti fisik yang juga bisa meyakinkan sebagai Kota Wisata Sejarah, jika salah satunya bukan berupa bangunan bersejarah, ‘kan?

Sudah lama, ya, 2005 alias 12 tahun silam? Lantas apa dampak dari RSK?

Dampak pertama, RSK menjadi bahan pertimbangan Kepala Bappeda Provinsi Babel. Hal ini diberitahukan oleh kakak saya, Antonius Wahyudi, ketika masih berdinas di Bappeda Babel. Sayangnya saya lupa nama Kepala Dinas Bappeda Babel pada waktu itu.

Dampak kedua, pada 21 Mei 2017 saya melihat foto-foto wisata keluarga kami di Bangka Barat. Satu obyek wisata yang sangat mengagetkan saya adalah Museum Timah Indonesia Muntok. Saya tidak asing pada tampilan depan bangunan tersebut. Bangunan tersebut saya tulis dengan judul RSK, dan telah diperbaiki menjadi museum!

Kemudian saya pajang pada beranda FB saya pada 22 Mei 2017, dari foto sekarang (2017) maupun foto 2004 ketika saya berada di sana. Tidak lupa saya sematkan (tag) pada akun Ketua IAI Pusat Ahmad Djuhara. Komentar beliau, “Terima kasih sudah menjaga arsitektur Indonesia.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline