Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nafanu

TERVERIFIKASI

Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

HET Migor Dicabut: Penimbun Untung, Konsumen Buntung?

Diperbarui: 19 Maret 2022   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minyak goreng di swalayan. Harga naik setelah HET dicabut. Dok M. Elgana Mubarokah/kompas.com

Sejatinya, kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET)  suatu produk diberlakukan untuk melindungi konsumen. Dengan adanya HET, maka konsumen yang adalah masyarakat bisa memperoleh barang dengan harga yang lebih terjangkau. Di sisi lain, penetapan HET berdampak untuk mengurangi risiko kenaikan inflasi. 

Sayangnya, kebijakan HET seringkali tidak diantisipasi dengan baik. Supply barang di pasar tersendat, langka.  Produsen dan distributor barang tidak mendapatkan subsidi untuk biaya produksi dan distribusi. Dan mafia penimbun dan pengatur produk beroperasi untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Penimbun lah yang mengendalikan peredaran produk-produk ini. Penggerebakan terhadap penimbun, tidak mampu menghentikan praktik-praktik mafioso ini. Sebab, ada cukup banyak tangan kuat alias backing di balik para penimbun. 

Peraturan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng (HET Migor) resmi dicabut oleh Pemerintah pada hari Rabu, 16 Maret 2022. Seperti biasa, menjelang pengumuman penting maka produk yang berkaitan akan menjadi langka. Menghilang dari peredaran. Maaf, stok habis. Padahal, sementara ditimbun di dalam gudang menanti saat yang tepat untuk dikeluarkan. Tentu saja dengan harapan, meraup keuntungan yang berlipat ganda. 

Sementara, konsumen yang tidak bisa move on dari minyak goreng tertunduk lesu. Tukang gorengan mengelus dada. Emak-emak bergegas menuju toko-toko berlabel MART. Pancaran sinar mata bahagia, memandang deretan minyak goreng berlabel yang tertata rapi di rak-rak toko. Mendekat, hendak mengambil satu atau dua kemasan untuk dibawa pulang ke rumah. Namun, wajah yang tadinya ceria, menjadi muram campur kaget. Harga tak lagi murah. Seliter minyak goreng berlabel kini berubah harga, menjadi Rp 24.000. Si emak pun mencoba mengulurkan tangannya untuk meraih kemasan berukuran 2 liter. Sama saja, Rp 48.000. Secara refleks, kemasan migor disimpan kembali. Tak jadi membeli.

Niat pun diurungkan. Nanti saja, ke pasar tradisional. Membeli seplastik minyak goreng curah. Tak apa-apa, yang penting bisa dapat minyak untuk mengoreng kue kegemaran anak-anak di rumah. Menumis sayur favorit si bungsu. Juga menggoreng telur ceplok si sulung. 

HET Dicabut, Ada yang Untung Ada yang Buntung

HET migor telah dicabut. Harga dibiarkan untuk bergerak mengikuti mekansime pasar. Tergantung pada tangan-tangan berkuasa yang mengatur distribusi minyak goreng. Kapan ditahan dan kapan dilempar.  Masyarakat selaku konsumen, tidak memiliki kuasa. Hanya mencoba untuk mengatur, bagaimana mengalokasikan uang yang dimilikinya untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar keluarganya.

Menurut pemerintah, pencabutan peraturan HET minyak goreng ini adalah untuk meniadakan kelangkaan produk di pasar. 

Dan ternyata benar. Setelah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit dicabut, maka produk  minyak goreng berlabel pun mulai memenuhi rak-rak toko. Lengkap dengan'penyesuaian' harga yaitu lebih tinggi dari harga semula.

Di sini terlihat, keuntungan besar dibukukan oleh para mafia penimbun minyak goreng. Harga dinaikkan untuk meraup keuntungan. Di sisi lain, konsumen menjadi buntung. Terpaksa memutar otak untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga minyak goreng. Belum lagi, harga barang pokok lain pun mulai naik, ikut menyesuaikan harga dengan kenaikan harga migor. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline