Lihat ke Halaman Asli

Ketika Bahasa Indonesia Menjajah

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13868762151842315061

[caption id="attachment_308245" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber: http://regional.kompas.com/read/2013/01/15/14510369/Jangan.Hapus.Bahasa.Daerah.dari.Kurikulum"][/caption] Kepunahan suatu bahasa adalah sekaligus simbol lenyapnya (sejarah) suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, salah satu bentuk kemajemukan adalah adanya bahasa daerah yang berbeda-beda. Artinya, keragaman sebagai identitas itu akan hilang kalau bahasa-bahasa daerah punah. Dibutuhkan strategi melalui sistem pendidikan untuk "menyelamatkan" bahasa sekaligus kepunahan keragaman itu. Peneliti LIPI memperkirakan dari beratus-ratus bahasa etnis yang ada di Indonesia hanya sembilan saja yang akan bertahan (di sini). Selain bahasa Sasak, ada bahasa Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, dan Sunda, yang diprediksi bertahan. Bahasa daerah lainnya akan punah. Salah satu sebab kepunahan itu adalah karena bahasa-bahasa tersebut tidak memiliki sistem aksara. Maka, salah satu cara untuk "menyelamatkannya" adalah dengan menuliskannya. Dengan alat perekam itulah, suatu bahasa bisa dipertahankan keberadaannya. Dominasi bahasa Indonesia Menurut penulis, ada faktor lain di luar ketiadaan aksara, yang turut mempercepat kepunahan bahasa daerah. Faktor itu adalah adanya dominasi bahasa Indonesia, yang berdampak pada menurunnya jumlah penutur bahasa daerah. Dominasi bahasa Indonesia terjadi melalui sistem pendidikan. Ini adalah faktor penting yang menekan keberadaan bahasa daerah, berujung berkurangnya penutur. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi sarana sosialisasi justru menempatkan bahasa daerah sebagai "anak tiri". Siswa lebih dicekokin bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah. Pembelajaran lebih didominasi oleh pengantar dalam berbahasa Indonesia. Siswa dipaksa membaca dan menggerjakan soal-soal, misalnya, yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kelulusan siswa juga ditentukan oleh kemampuan berbahasa Indonesia. Bahkan, ekspansi terhadap bahasa daerah bertambah kuat ketika siswa-siswi kecil dipaksakan berbahasa asing. Artinya, bahasa daerah secara struktural dikepung oleh dua bahasa asing, dalam arti sebagai bahasa non-daerah. Maka, penghapusan kewajiban berbahasa asing di tingkat Sekolah Dasar (SD), dan menaruhnya sebagai pilihan, adalah langkah tepat dalam mengatasi persoalan kepunahan bahasa daerah; minimal mengurangi "musuh". Perlu juga kiranya dibuatkan kebijakan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran, dan bahkan sebagai subyek mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah. Pengabaian keberadaan bahasa daerah adalah cerminan sikap abai atas kemanusiaan mereka yang memakainya. Padahal, Indonesia didirikan atas dasar konsensus pada keberagaman. Oleh karena itu, kebijakan afirmasi terhadap keberadaan bahasa daerah yang banyak itu adalah keharusan, sebab mencerminan keberpihakan serta pengakuan negara terhadap keberagaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline