Lihat ke Halaman Asli

Orang Jalanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang jalanan, orang kantoran, orang rumahan, orang kampungan, orang.....

Benak saya selalu tertegun sejenak setiap kali memperhatikan para pedagang asongan dari trotoar ke trotoar, pengamen dan pengemis di bawah lampu-lampu merah, polisi swadaya alias orang-orang tak berpagkat yang sukarela mengatur lalu lintas di perempatan-perempatan, calo-calo angkot dan bus di terminal-terminal, siapa saja menghabiskan sebagian besar harinya di jalanan.

Orang jalanan. itulah titel yang selalu disematkan orang pada mereka. Tentu bukan sebuah julukan yang mengundang orang untuk berfikir sesuatu yang baik. Kata ‘jalanan’ selalu menyeret presepsi orang untuk membayangkan yang negative dan jelek. Kasar, kumuh, dekil, kotor, tak teratur, itulah yang selalu identik dengan kata ‘jalanan’. Sehingga sering kita mendengar orang mengatakan “dasar orang jalanan!”, “Kamu ini seperti orang jalanan saja!” Dan sebagainya. Tapi pernahkan kita sejenak saja berempati, dan berpfikir hal-hal yang positif tentang ‘jalanan’-tentang orang-orang jalanan.

Karena kita hanya memandang dari sudut pandang mata yang hanya sampai pada permukaan kulit mereka. Atau kita hanya berhenti pada indra telinga yang mendengar Bahasa mereka. Namun jarang, atau bahkan tidak perna kita meraba apa yang ada di balik bungkus kulit dekil berdebu itu. Apa yang berdegub di balik kata-kata kasar dan sembarangan itu. Apa yang tersembunyi di balik tatap-tatap tajam nan nanar itu.

Orang-orang jalanan hitam, berdebu, dan kotor karena mereka harus bersentuhan langsung dengan kejujuran dunia, yaitu terik matahari, debu, asap, dan gaung suara segala benda. Sementara orang kantoran bersih dan rapi, karena mereka hanya bersentuhan dengan layar monitor, ballpoint, AC, dan telephon.

Lihatlah cara orang jalanan mendapatkan upah rupiah: dari balik kaca kendaraan bahkan kadang di lempar, kadang mereka harus memungutnya dari aspal, bukan dari anvelop yang terbungkus rapi, atau langsung ditransfer ke rekeningnya.

Jalanan adalah sebuah arena sejujur-jujurnya dunia. Selugu-lugunya semesta.

Tangerang, 27 Agustus 2013, 12:27 P.M




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline