Lihat ke Halaman Asli

Gabryella Sianturi

Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Aborsi sebagai Tindakan Medis, Tidak Lebih dan Tidak Kurang!

Diperbarui: 30 Juli 2020   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam lingkungan masyarakat yang menempatkan moral setinggi langit, praktik aborsi dan pembicaraan perihal kesehatan reproduksi masih dianggap tabu di Indonesia. Padahal, aborsi adalah konsekuensi logis dari seorang perempuan atas Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD).

Aborsi adalah sebuah tindakan medis, tidak lebih dan tidak kurang. Pernyataan tersebutlah yang seharusnya tertanam di dalam pikiran masyarakat Indonesia. Tetapi sayangnya, aborsi terus saja tersandung oleh urusan moral dan politik, di mana media dan pemerintah ambil andil sebagai pihak yang melanggengkan stigma tersebut.

Menurut data dari Guttmacher Institute pada tahun 2000, setiap tahunnya terjadi sekitar dua juta aborsi yang diinduksi terjadi di Indonesia. Estimasi angka tahunan aborsi Indonesia juga cukup tinggi yaitu sebesar 37 dan di negara lain di Asia sebesar 29 untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Sementara itu, 760.000 (17 %) dari 4,5 juta kelahiran setiap tahunnya di Indonesia berasal dari Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Sehingga total kematian di Asia Tenggara yang disebabkan karena aborsi tidak aman saat itu adalah sebesar 14-16% dari semua kematian maternal.

Kemudian pada tahun 2016, dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, di Indonesia setiap tahun terdapat sekitar 1,7 juta kelahiran dari perempuan berusia di bawah 24 tahun, yang sebagian adalah Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sementaranya, data dari laporan Guttmacher Institute tahun 2017 mencatatat sebanyak 55,7 juta aborsi terjadi setiap tahunnya dimana 30,6 juta adalah praktik aborsi yang aman dan 25,1 juta masuk dalam praktik aborsi tidak aman. Angka yang tidak sebanding tersebut juga mencatat 67,9 ribu perempuan meninggal akibat praktik aborsi yang tidak aman.

Jumlah angka di atas adalah bukti bahwa adanya korban disebabkan oleh stigma aborsi yang negatif, sehingga sudah sepatutnya jumlah angka harus dilihat lebih dari sekedar statistik.

KTD dapat disebabkan karena mengalami kegagalan program KB, menjadi korban kekerasan atau mendapatkan tekanan psikologis lain. Tetapi, perempuan yang mengalami KTD sulit mengakses layanan yang aman untuk melakukan aborsi dan hal tersebut sudah tidak mengherankan. 

Stigma negatif terhadap praktik aborsi memang sudah melekat di Indonesia yang 88% penduduknya adalah umat muslim. Menurut survei Pew Research Center pada 2013, jumlah persen itu memang meyakini bahwa aborsi sulit diterima secara moral. 

Stigma negatif itu tentu saja akan membuat perempuan kerap mengakhiri kehamilannya yang berisiko menyebabkan kematian. Fenomena angka kematian tersebut tentulah tidak lepas dari media dan pemangku kekuasaan yang ambil andil dalam melanggengkan stigma negatif aborsi.

Media telah sepihak menilai moral perempuan dalam pemberitaannya. Contohnya menyimak berita yang dilansir oleh detik.com berjudul "Karyawati Aborsi Janin karena Tak Dinikahi, Jeruji Menanti". 

Penggunaan kata "ketahuan", "membunuh" dan "penjara menanti", menjadikan aborsi yang dilakukan oleh karyawati tersebut perbuatan yang jahat. Padahal, informasi yang disajikan detik.com tersebut pun tidak jelas. Pada pemberitaan tidak dicantumkan keterangan usia janin, apakah sudah dapat dikatakan makhluk hidup sehingga disejajarkan dengan pembunuhan.

Selain itu, pun menurut pengertian medis, aborsi dapat dikatakan ketika pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu yang mana berat janin kurang dari 500 gram. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline