Lihat ke Halaman Asli

Goenawan

Wiraswasta

Ketika Sandal Jepit dan Baju Putih Menghapus Akal Sehat

Diperbarui: 16 Januari 2018   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir semua orang suka dengan drama. Bagi yang tidak banyak duit cukuplah drama televisi menemani saat makan malam, bagi yang ada uang lebih malam minggu bisa dilewatkan di gedung bioskop, untuk sebutan berselera seni tinggi, mungkin teater di gedung2 mewah menjadi pilihan. Tetapi drama tidak harus di panggung atau layar, drama juga bisa dalam bentuk novel, vlog dan buku cerita.

Dalam politik, drama - drama menjadi pemanis yang esensial. Dalam lima tahun belakangan bahkan drama dianggap realita, drama dianggap prestasi. Masih jelas diingatan kita ketika seorang  gubernur memakai sepatu sobek dan disorot kamera. Tentu ini drama yang bodoh, karena kenyataannya pakaian seorang gubernur dibiayai negara, apa mungkin negara tidak sanggup membelikan sepatu. Baiklah kita berprasangka baik, anggaran tersebut tidak dipakai terpaksa si gubernur harus keluar duit sendiri untuk membeli sepatu. Siapa yang percaya gaji gubernur tidak sanggup membeli sepatu? Jikapun itu bukan drama, maka sepatu sobek lebih mencerminkan sikap sembrono. Bagaimana mau mengatur anggaran negara jika memilih sepatu saja tidak bisa?

Seolah setali tiga uang, begitu juga dengan si anak. Anak yang kuliah di Singapura ini beberapa saat yang lalu pose di kamar dengan amben (bahasa jawa: ranjang) kayu. Sontak drama miskin ini menjadi viral. Para followernya lupa, kalau kuliah di Singapura jauh lebih mahal dibanding di Indonesia.

Selama tiga tahun negara ini dikelola dengan cara drama, mulai dari toll laut, infrastruktur, janji swasembada pangan dsb. Faktanya utang luar negeri naik secara tajam. Dijaman Orde Baru utang luar negeri juga naik tajam tetapi dampak kemakmurannya juga dirasakan. Di jaman now ini, utang luar negeri meroket, tetapi daya beli justru merosot. Alibinya konsumen beralih belanja secara online. Coba cari berapa banyak ibu rumah tangga membeli beras, telur, minyak goreng secara online? Hampir tidak ada.

Harga pangan naik, import beras, subsidi dasar seperti listrik dan BBM di cabut. Artinya orang miskin harus membayar sama dengan orang kaya. Jika demikian bukankah ini hukum rimba? Penguasa ada dimana? Bapak yang baju putih itu ada dijalanan tebar pesona bagi bagi sepeda pakai uang negara. Bagaimana mungkin uang negara dibelikan sepeda hanya supaya bisa narsis dan viral? Itu bukan uang pribadi, rakyat lain yang tidak datang di pertunjukan badut juga berhak mendapat sepeda. Bukan doorprice badut jalanan.

Infrastruktur saat ini ibarat membeli mobil tanpa punya SIM. Jalan toll trans Jawa buat siapa? Sepi pakde, dan sebentar lagi biaya perawatan dan operasionalnya menjadi masalah besar bagi pengelola toll. Jadi ga usah mimpi kejauhan bagaimana utang nanti dibayar.

Utang bertumpuk, jalan toll trans jawa sepi, beras mahal. Maka jurus miskin nya kembali dipakai. Pakai sandal jepit dan baju putih, kemudian difoto dan viral. Drama bodoh yang menipu tetapi "cerdas".

salam dua periode, salam impor beras




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline