Lihat ke Halaman Asli

Nufransa Wira Sakti

TERVERIFIKASI

Profesional

Tanggapan untuk Profesor Tjipta Lesmana

Diperbarui: 15 April 2016   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berita tentang meninggalnya Parada yang ditikam seorang pengusaha ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai petugas Ditjen Pajak adalah sangat memilukan. Ketika seorang pria muda bernama Parada TF Siahaan yang bertugas untuk memberikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang menunggak pajak, dia bukanlah sekedar seorang anak muda berusia 30 tahun. Parada adalah representasi dari negara. Dia bertindak sebagai Juru Sita Pajak Negara dan sedang menjalankan amanah Undang-Undang. Apa yang dilakukannya sebagai bagian dari penegakan hukum untuk proses penagihan pajak. Jangan dilihat pangkatnya yang “hanya” 2C, sebuah pangkat yang menurut tulisan seorang profesor di sebuah koran adalah “pegawai negeri rendahan”.

Sang profesor dalam tulisannya yang berjudul "Kematian Parada, Panama Papers, Pengampunan Pajak" di harian nasional itu rupanya lupa bahwa proses penegakan hukum tidak melihat pangkat. Seorang polisi lalu lintas berpangkat Bripda (Brigadir Dua) bisa saja memberikan tilang kepada seorang jenderal polisi apabila dia melanggar aturan lalu lintas. Sama juga halnya dengan seorang menteri seperti Ibu Susi yang menenggelamkan kapal pelaku illegal fishing. Mereka adalah representasi negara dalam wujud penegak hukum, tidak melihat pangkatnya. Otoritas dan kewenangan yang melekat pada orang-orang tersebut adalah amanah Undang-Undang untuk dijalankan.

Sebenarnya cukup mengherankan, seorang profesor yang nota bene pemegang gelar akademisi tertinggi menulis seperti halnya di koran tersebut. Banyak sekali hal-hal yang tidak mencerminkan yang sesungguhnya. Contoh lainnya adalah adanya “asumsi” bahwa tunggakan pajak sang pengusaha yang mencapai 14 miliar karena pengusaha tersebut sudah berkali-kali ditagih oleh aparat pajak tapi ia berhasil lolos karena petugas pajak ditutup mulutnya alias disuap. Sebuah tulisan yang mencerminkan ketidakpahaman sang profesor pada proses penagihan pajak. Sebagai tambahan bekal ilmu bagi sang profesor, Surat Paksa adalah surat kedua dalam proses penagihan pajak.

Surat yang pertama adalah Surat Teguran yang dikeluarkan karena utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum juga dilunasi. Surat Paksa dikeluarkan bila setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak juga dilunasi. Kemudian utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak.  Apabila waktu 2 hari tersebut terlewati, maka dilakukan proses penyitaan. Begitulah prosesnya pak Profesor. Masih banyak lagi hal lain yang tidak sepantasnya ditulis oleh pak profesor.  Memang ada baiknya tidak memberikan opini apabila tidak mengetahui permasalahan secara mendalam.

Ditjen Pajak memang mendapatkan tugas yang sulit dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Bukan hanya karena secara naluri setiap orang tidak mau membayar pajak, tapi juga situasi pelaksanaan pemerintahan yang belum mendukung untuk membayar pajak. Banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan dan penyelewenangan uang negara membuat persepsi masyarakat terhadap pembayaran pajak semakin terpuruk. Mungkin hal itulah yang ditangkap dan ditulis oleh sang profesor. Bisa jadi persepsi tersebut mewakili sebagian besar masyarakat terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Pelaksanaan tugas Ditjen Pajak sepatutnya didukung secara menyeluruh oleh setiap elemen pemerintahan. Sebagai otoritas penghimpun penerimaan negara, akan sangat sulit apabila uang yang berhasil dikumpulkan kemudian pengeluarannya dilakukan secara tidak efektif dan efisien bahkan disalahgunakan atau dikorupsi. Setiap unit pemerintah perlu menyadari bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kegiatan pemerintahan berasal dari uang rakyat yang dibayar dari pajak.    

Hal itu semua menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Berbagai upaya telah banyak dilakukan, terutama untuk meningkatkan integritas dan kompetensi pegawai Ditjen Pajak. Ini tentu saja penting dilakukan untuk mengubah persepsi/mindset dari masyarakat terhadap pajak. Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pepatah.

Belajar dari kejadian yang telah berlalu, perlu diperkenalkan lagi lebih mendalam tentang perpajakan sehingga secara bertahap tingkat kesadaran masyarakat akan meningkat.

Cukup Parada yang menjadi korban atas ketidaksadaran masyarakat Indonesia terhadap pelaksanaan kewajiban pajak.

 

-Frans-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline