Lihat ke Halaman Asli

Florensius Marsudi

Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Anak Pertama, Tiga Bulan; Anak Kedua, Dua Minggu

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada suami-istri. Mereka berdua ini dulu  adik tingkatku ketika kuliah. Sebelum menikah, mereka  sudah cukup lama pacaran, lima tahun.

Wanitanya cantik. Dimataku ia amat sempurna kecantikannya.  Suaminya juga tampan (untuk ukuran rata-rata). Dua-duanya bekerja, satu di Badan Usaha Milik Negara, dan suaminya bekerja disebuah Perseroan Terbatas.

Keluarga itu sudah dikaruniai anak, berumur tiga bulan. Laki-laki. Kebahagiaan tersendiri, dengan hadirnya sang anak. Hanya kini, sang istri sudah hamil lagi. Usia kandungannya dua minggu (ketika aku menulis ini). Sang istri panik.  Karena ia merasa belum siap untuk mempunyai anak lagi. Bayangkanlah anak pertama umur tiga bulan. Sang ayah merasa tak ada masalah, karena ia berprinsip, anak adalah berkat tersendiri bagi keluarga.

Ketika mereka berdua  memperbincangkan kehamilannya, sang istrilah yang lebih banyak bicara. Tak jarang tersirat ia menyalahkan suaminya yang tak mau mengerti keadaan istri. Maunya suami 'dilayani.'  Dilayani setiap saat, 'kapan suami butuh, istri harus rubuh'. Perlu diketahui sang suami bekerja diluar kota, dan pulang selalu malam. Sempat pula terbersit dari sang istri, ia berniat  menggugurkan anaknya yang kedua ini, yang baru berumur dua minggu.

Nyut....kepalaku, ketika mendengar kata 'menggugurkan'. Aku cuma memberi pertimbangan, mereka sudah menikah, setia, se-iya sekata dalam suka dan duka; hingga maut menjemput. Tinggalah kini menyatakan SETIA, SEIYA dan SEKATA itu untuk keluarga. Diakhir pembicaraan mereka bersepakat untuk mengambil pembantu satu lagi, khusus untuk momong bayi. Aku cuma mewanti-wanti, jangan pernah menggugurkan. Konsultasi kedokter, jaga kesehatan dan makanlah yang bergizi.

Kepada sang suami, aku cuma bisa bersyukur. Ia akhirnya bisa berpikir jernih  untuk tirakat, itulah bentuk pengorbanan sekaligus pengertian untuk  keluarga, terutama untuk memahami istri. Semuanya butuh proses, pacaran lama bukan ukuran dan jaminan akan pemahaman yang benar tentang orang lain.

------------------------------------------
*) Selain hati, cinta; masih ada modal lain dalam menikah. Mau memahami diri dan orang lain, terutama memahami istri secara benar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline