Lihat ke Halaman Asli

fahmi karim

Suka jalan-jalan

"Lukisan" dari Sumba, Kenapa Perempuan Tidak Hebat dalam Kehebatannya?

Diperbarui: 21 Juli 2020   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu adegan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. (Sumber: Cinesurya via KOMPAS.com)

Banyak hal yang perlu diceritakan mengenai Indonesia. Banyak juga yang perlu diklarifikasi.

Cara menceritakan Indonesia melalui film adalah satu langkah yang efektif, meskipun pada kesimpulan terakhir bisa berbeda. Antara film yang rumit, atau memang kepala yang tak mampu memahami, sehinga semuanya jadi serba sulit, seperti RUU PKS. Entahlah...

Beberapa Komika Indonesia untuk bahan manggung memuat cerita wilayahnya. Hal ini sangat melekat pada para Komika dari "Timur".

Ada yang seperti orasi gaya aktivis di depan istana setiap Kamis, ada yang mengklarifikasi stigma negatif, atau bisa juga terus membuat cerita mengenai orang "Timur" yang sangar, tetaplah efektif. Meskipun orang menerimanya sebagai lelucon -- kita tahu lelucon seberapapun bermakna tetap dianggap sebagai candaan.

Kali ini saya tertarik dengan film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, film garapan sutradara Mouly Surya. Dari judulnya saja sudah membikin penasaran. 

Awal-awal film saya teringat dengan film Kill Bill dengan misi balas dendamnya. Tapi tinggalkan saja Beatrix Kiddo dengan samurainya. Kita fokus saja dulu pada Marlina (Marsha Timothy) dan parangnya.

Beberapa film jika tidak mengikuti alur cerita tidak akan paham apa yang diceritakan di dalamnya. Jadi tidak boleh ada dialog yang dilewatkan. Jika tidak, akan kebingungan sendiri dan bertanya-tanya ke teman Anda di samping, "Maksudnya apa?" Padahal sama-sama nonton.

Namun dalam film ini, menurut saya, kendati meninggalkan beberapa potongan dialog kita masih bisa memahami alur cerita. Apa sebab?

Begini: dalam film ini saya merasakan sensasi lain. Dari awal sampai akhir film saya seperti sedang melihat lukisan dengan beragam isi. Kita tahu bahwa lukisan sangat kuat pesannya meski tidak bicara.

Memang sepertinya sang sutradara sengaja membuat film ini seperti lukisan, dengan beberapa teknik pengambilan gambar seperti one point perspective; ketika gambar difokuskan pada pintu dapur, baik diambil dari dapur maupun di dalam ruangan, extreme wide shot maupun very wide shot; dengan bentangan alam yang kering sebagai fokus. Memang seperti lukisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline