Lihat ke Halaman Asli

Fitria Osin

i am just a book challenger

Solusi Fundamental Atasi Krisis Pangan

Diperbarui: 16 Oktober 2023   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Krisis pangan dunia semakin diambang mata. Beberapa negara tampak panik, termasuk Indonesia, mencari pasokan pangan untuk rakyatnya. Jika sebelumnya impor beras sangat mudah dilakukan, kini semua negara bersiap menutup pintu ekspornya.

Sejak Juli 2023, India sudah menutup pintu ekspor demi menyelamatkan diri, terutama untuk beras non-basmati yang dikenal murah. Keputusan India ini ditengarai akan berdampak pada hilangnya seperlima atau sekitar 9,2 juta metrik ton pasokan beras dunia. Adapun 19 negara eskportir beras lainnya, diketahui sudah bersiap membatasi diri untuk menghadapi ancaman krisis pangan global ini. Diantaranya Thailand yang sedang cermat berhitung, apakah akan melepas produk berasnya ke pasar global ataukah tidak.

Faktor Krisis

Di luar isu krisis energi dan keuangan global, isu krisis pangan sebetulnya sudah lama mencuat ke permukaan. Selain peningkatan jumlah penduduk, perubahan iklim dan situasi politik global juga disebut-sebut sebagai penyebab ancaman krisis pangan.

Diketahui, setiap tahun jumlah penduduk dunia meningkat 1,25%. Artinya kebutuhan pangan akan terus meningkat. Di pihak lain, perubahan iklim yang semakin ekstrem akan menganggu produksi pangan sehingga ketersediaan bahan pangan pun benar-benar terancam.

Kondisi ini diperparah dengan situasi geopolitik global yang makin tidak menentu. Ketegangan yang berkelanjutan antara Rusia dan Ukraina menyebabkan rantai pasok pangan antarnegara di dunia benar-benar terganggu. Saat Pelabuhan Odessa diblok oleh Rusia misalnya, 77 juta ton gandum tidak bisa diekspor oleh Ukraina. Sementara itu, pada saat yang sama, Rusia pun mengeklaim tidak bisa mengekspor 130 juta ton produksi gandumnya. Wajar jika harga gandum dan semua produk turunannya melonjak naik di mana-mana, mulai di Eropa, Asia hingga Afrika. Ini karena ketergantungan masyarakat dunia atas komoditas gandum terbilang sangat tinggi.

Respon Indonesia 

Pada kesempatan Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (16/9/2023), Presiden Jokowi mengatakan ulasannya soal krisis pangan bukan untuk menakut-nakuti tetapi untuk mencari antisipasi dan solusi. Beliau memberi pesan agar Indonesia bisa menjadikan permasalahan pangan dunia ini sebagai peluang. Caranya dengan membuat berbagai terobosan “gila” sehingga Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Dengan begitu, katanya, petani dan nelayan kita akan sejahtera dan krisis pangan dunia pun akan terselesaikan dengan sendirinya.

Pernyataan Presiden tersebut tampak jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi lumbung pangan dunia, mencapai target swasembada pangan saja masih dalam tataran wacana. Padahal situs resmi Setgab masih memuat potongan pidato Presiden Jokowi di hadapan civitas academica UGM Yogyakarta pada 9 Desember 2014 silam. Saat itu dengan tegas ia berkata, “Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun, tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya.”

Faktanya, selama dua periode pemerintahan, keran impor dibuka sederas-derasnya. Alih-alih berinovasi, pilihan impor masih jadi solusi bagi defisitnya stok pangan nasional. Untuk 2023 ini, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor 2,3 juta ton beras dengan dalih mengurangi dampak El Nino yang menyebabkan kekeringan di Asia Tenggara. Adapun realisasinya, data  BPS menyebut, pada periode Januari—Agustus ini, beras yang diimpor sudah mencapai 1,59 juta ton. Sementara itu, pada saat yang sama BPS mengingatkan adanya ancaman defisit beras yang akan berlangsung hingga Januari 2024 yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline