Lihat ke Halaman Asli

Isu Hukum Ketatanegaraan dalam Keadilan Berpartai: Persyaratan Menjadi Anggota Pemilu yang Terlalu Berat Membuat Parpol Baru Berjuang Keras

Diperbarui: 13 Mei 2024   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Belum reda perdebatan isu tentang perubahan sistem pemilihan umum dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup, pada 2 Maret 2023 lewat putusan yang memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) melawan Komisi Pemilihan Umum, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat kejutan dengan memerintahkan, bahwa semua proses tahapan persiapan Pemilu 2024 harus dihentikan.

Lengkapnya, menurut putusan bernomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst menyatakan: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari". Putusan PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu sebelumnya telah mengejutkan banyak pihak karena dinilai "bertentangan dengan konstitusi".

Konsekuensi logisnya, perintah majelis hakim ini akan berakibat ditundanya Pemilu 2024 yang sudah disepakati DPR, pemerintah, KPU, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Seandainya putusan ini tidak mendapat perlawanan dari KPU lewat upaya banding di pengadilan tinggi, maka artinya waktu pelaksanaan pemilu selanjutnya akan mundur menjadi tahun 2025.

Putusan tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Pasal 431 sampai Pasal 433, yang ada hanya istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan'. Tidak ada aturan tentang 'penundaan pemilu secara keseluruhan.

Selain melanggar konstitusi dan undang-undang, putusan itu juga menjadi kontroversial karena dinilai melampaui kewenangan atau kompetensi sebuah pengadilan negeri. Apalagi, gugatan. yang diajukan sebenarnya tergolong perkara hukum perdata, sementara penundaan pemilu seharusnya terkait persoalan hukum publik. Istilah jaman sekarang, "nggak nyambung" antara gugatan, kompetensi peradilan, dengan amar putusan.

Lagi pula, sebenarnya perkara ini pernah ditangani oleh Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai jalur konstitusional yang disediakan negara untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan sengketa proses pemilu. Sebelumnya, Partai Prima melaporkan KPU karena merasa dirugikan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol calon peserta Pemilu 2024. 

Dalam tahapan verifikasi administrasi, Partai Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan sehingga tidak bisa berproses ke tahapan verifikasi faktualBelum reda perdebatan isu tentang perubahan sistem pemilihan umum dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup, pada 2 Maret 2023 lewat putusan yang memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) melawan Komisi Pemilihan Umum, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat kejutan dengan memerintahkan, bahwa semua proses tahapan persiapan Pemilu 2024 harus dihentikan.

Lengkapnya, menurut putusan bernomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst menyatakan: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari". Putusan PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu sebelumnya telah mengejutkan banyak pihak karena dinilai "bertentangan dengan konstitusi".

Konsekuensi logisnya, perintah majelis hakim ini akan berakibat ditundanya Pemilu 2024 yang sudah disepakati DPR, pemerintah, KPU, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Seandainya putusan ini tidak mendapat perlawanan dari KPU lewat upaya banding di pengadilan tinggi, maka artinya waktu pelaksanaan pemilu selanjutnya akan mundur menjadi tahun 2025.

Putusan tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Pasal 431 sampai Pasal 433, yang ada hanya istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan'. Tidak ada aturan tentang 'penundaan pemilu secara keseluruhan.

Selain melanggar konstitusi dan undang-undang, putusan itu juga menjadi kontroversial karena dinilai melampaui kewenangan atau kompetensi sebuah pengadilan negeri. Apalagi, gugatan. yang diajukan sebenarnya tergolong perkara hukum perdata, sementara penundaan pemilu seharusnya terkait persoalan hukum publik. Istilah jaman sekarang, "nggak nyambung" antara gugatan, kompetensi peradilan, dengan amar putusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline