Lihat ke Halaman Asli

1 Muharram, Kok Sepi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang kawan dekat pernah bertanya tentang tahun baru Hijriyah. Jika pergantian tahun dalam kalender Masehi selalu dirayakan dengan tiupan terompet dan letusan bunga-bunga api di langit, tahun baru Imlek dimeriahkan dengan karnaval liong dan barongsai, lalu bagaimana masyarakat muslim merayakan tahun baru Hijriyah? Mengapa tidak tampak gempita perayaan seperti dilakukan sebagian masyarakat ketika tahun baru Masehi dan Imlek tiba?

Terus terang saya agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tapi daripada menanggung malu karena dianggap awam dalam masalah tersebut (padahal saya sarjana agama!) saya jawab saja pertanyaan itu sekenanya*: umat Islam tidak diajarkan untuk berpesta-pora menyambut datangnya tahun baru Hijriyah, justru mereka dianjurkan Nabi SAW untuk ber-tafakkur dan muhasabah. Sumpah, saya tidak pernah merasa menjadi ustadz tiban selain saat itu.

Benar memang, Kanjeng Nabi Muhammad melarang umat Islam berpesta-pora dalam merayakan datangnya suatu momen keagamaan, termasuk Idul Fitri dan (lebih-lebih) tahun baru Hijriyah. Alih-alih membakar petasan, umat Islam justru dianjurkan untuk membaca doa dan memperbanyak istighfar. Suasana yang tenang, syahdu, dan penuh keintiman dengan Tuhan agaknya lebih dipilih oleh Nabi ketika melewatkan menit-menit pergantian tahun.

Selesai dengan pertanyaan kawan tersebut, tiba-tiba muncul pertanyaan baru dalam benak saya. Nabi memang melarang umatnya berlebih-lebihan dalam menggelar suatu perayaan, namun apakah hanya karena itu umat Islam, terutama masyarakat muslim di Indonesia, lantas tidak mengembangkan sejenis perayaan sederhana untuk menyambut tahun baru Islam? Idul fitri adalah momen yang istimewa, dan meski Nabi melarang kita untuk israf (berlebih-lebihan) dalam menyambut atau merayakannya, tapi bukan berarti kreatifitas kita terbendung begitu saja.

Itu sebabnya masyarakat Jawa kemudian mengembangkan tradisi Kupatan, sebuah ‘genre’ selamatan yang lebih sederhana (biasanya cukup diantar ke tetangga dekat atau sanak keluarga) dan dimaksudkan sebagai sarana berbagi dengan sesama. Di samping itu kita juga mengenal perayaan ala kadarnya yang diadakan setiap tanggal kelahiran Nabi SAW. Perayaan tersebut biasa dikenal dengan istilah Muludan. Seperti halnya Kupatan, sebagian masyarakat juga menjadikan Muludan sebagai media untuk berbagi dengan para tetangga atau keluarga dekatnya.

Selain momen keagamaan ada pula kegiatan masyarakat yang mungkin tidak bersangkut-paut dengan doktrin agama namun sangat kental dengan nilai-nilai Islam, misalnya Tirakatan. Tirakatan adalah sebuah acara yang diselenggarakan untuk memperingati kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Biasanya acara tersebut diadakan pada malam hari di sepanjang ruas jalan di kampung/desa. Tua-muda, pria-wanita, muslim atau bukan, turut meramaikan acara tersebut. Meski jauh dari kesan mewah (biasanya hanya diisi sambutan-sambutan dari ketua RT/RW setempat dan cerita zaman perjuangan oleh sesepuh kampung/desa) namun pagelaran semacam itu berlangsung penuh khidmat dan akrab.

Nah, jika momentum kemerdekaan saja bisa kita rayakan dengan acara yang cukup menarik (meskipun sederhana) dan islami mengapa kita tidak mengembangkan tradisi baru untuk merayakan tahun baru Hijriyah? Jika untuk menyambut tahun baru Islam kita hanya menggelar doa dan dzikir bersama di masjid, bagaimana kita bisa menarik kalangan masyarakat yang kurang familiar atau mungkin jemu dengan acara-acara semacam itu?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline