Lihat ke Halaman Asli

Abdul Fickar Hadjar

Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Hukum yang Menjerakan Koruptor

Diperbarui: 31 Mei 2018   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Dalam konteks penegakan hukum, termasuk tindak pidana korupsi, ada tiga hal yang berperan, yaitu : struktur hukum (structure of law) dalam pengertian aparat penegak hukum, substansi hukum (substance of the law) meliputi perangkat perundang-undangannya, serta budaya hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam sebuah masyarakat.

Peran ketiga komponen ini sangat menentukan tegak tidaknya penegakan hukum, efektif tidaknya pemidanaan terhadap pelaku pidana, dan juga menentukan sejauhmana penegakan hukum bermanfaat bagi perkembangan peradaban kita sebagai manusia.

Tindak pidana / kejahatan korupsi, para ahli meneggarainya terjadi karena beberapa factor, antara lain : korupsi karena kebutuhan (corruption by need), korupsi yang terjadi dan dilakukan karena kebutuhan sang pelaku.

Pada masa lalu korupsi ini banyak dilakukan oleh para birokrat kecil, pegawai negeri rendahan yang karena besaran gajinya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa melakukan korupsi dengan skala besaran jumlah yang relative kecil. Tetapi pada perkembangannya corruption by need ini justru berkembang selain pada besaran jumlah dana yang dikorupsi juga pada aktor-aktor pelakunya, yaitu para calon kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota).

Berapa banyak kepala daerah incumbent / calon kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK, umumnya yang tertangkap tangan itu pada waktu menerima, meminta dan memeras stake holdernya, baik yang internal (para pejabat bawahan spt SKPD) maupun eksternal (pengusaha proyek Pemda).

Factor lain, korupsi yang dilakukan karena keserakahan (corruption by greedy), ini sesuatu yang bersifat facta notoir atau rahasia umum. Berapa banyak para penyelenggara negara, pengusaha, anggota DPR tertangkap dan diadili serta diputus sebagai koruptor berasal dari mereka-mereka yang jika dilihat LHKPN nya jumlah harta cukup untuk tidak disebut bujkan orang kaya. 

Jumlah harta mereka mungkin tidak akan habis dikonsumsi 7 (tujuh) turunan, tetapi realitasnya mereke-mereka lah yang justru banyak melakukan korupsi, menjadi sangat logis karena memang merekalah yang paling punya kesempatan untuk melakukan korupsi.

Faktor berikutnya adalah korupsi yang dilakukan karena siastem (corruption by system). Biasanya dalam konteks ini pelaku semula bukan pelaku yang antusias (berambisi) tetapi karena situasi sekelilingnya yang sudah korup dan jika ditolak akan dianggap aneh, yang pada akhirnya pelaku menikmati juga. Biasanya ada dua model,

Pertama, seorang terlibat karena jabatan yang didudukinya terbiasa atau merangsang stake holder untuk menyerahkan uang ketika berurusan dengan jabatan itu, meski pada awalnya sang pejabat menolak tapi pada akhirnya dikalahkan oleh lingkungannya. Bahkan pada type pertama ini bisa terjdi sang pejabat "dipaksa" oleh atasannya untuk mencari dana (baik untuk kepentingan kelembagaan maupun kepentingan pribadi) menggunakan jabatan untuk mengumpulkan dana korupsi.

Type kedua, pejabat yang diputus sebagai koruptor sebenarnya menolak dan tidak menikmati uang korupsi, tetapi karena jabatannya ia harus bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang korupsi (tanpa sepengetahuan atau sepengetahuan tapi membiarkan). 

Bagaimanapun juga korupsi by system ini tidak akan pernah lepas dari sanksui pidana, karena kondisinya mereka seorang pejabat yang meskipun terpaksa tapi tetap memenuhi unsure kesalahan (paling tidak kelalaian) karena itu tidak bisa diterapkan Pasal 48 KUHP (perbuatan dilakukan karena daya paksa -- overmacht) sebagai alas an pemaaf atau penghapus pidana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline