Lihat ke Halaman Asli

F. Chaerunisa

Mahasiswa

Zonasi, Kesalahan Kritik Kita, dan Regulasinya

Diperbarui: 25 Juni 2020   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi kegiatan belajar. (sumber: pixabay)

Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang dalam Bagian Keempatnya mengatur sistem zonasi telah berjalan pada tahun ketiga. 

Namun, regulasi ini masih belum berhasil memuaskan kebanyakan masyarakat. Bukan hanya saya, Anda pun sering mendengar keluh kesal orang tua dan calon siswa terkait dengan sistem zonasi ini, kan? Atau bahkan, Anda merupakan salah satu dari sekian orang yang berkeluh kesah?

Seorang kenalan saya benar-benar mengutuk sistem ini. Dalam pendapatnya, calon-calon murid yang memiliki potensi lebih baik ketimbang calon-calon murid lainnya beresiko besar untuk "ditendang" dari sekolah-sekolah yang dianggap lebih baik oleh masyarakat, hanya karena jarak tempat tinggalnya ke sekolah lebih jauh dari calon-calon murid yang biasa saja itu. Ini sangat beralasan. 

Zonasi memberikan peluang bagi 90% calon peserta didik untuk masuk ke dalam sekolah negeri yang dekat dengan rumah mereka. 

Akan sangat menguntungkan jika murid yang dianggap biasa-biasa saja bisa melanjutkan jenjang pendidikannya di sekolah yang dianggap favorit akibat faktor kedekatan rumah mereka dengan sekolah itu. 

Bukankah merasakan pendidikan di sekolah favorit seharusnya membutuhkan perjuangan yang lebih ketimbang hanya jarak rumah ke sekolah?

Pendapat itu kemudian mengantarkan masyarakat pada pendapat kontra zonasi lainnya: sistem zonasi dianggap berpotensi menurunkan jiwa kompetitif di antara calon murid, lantaran calon murid akan cenderung "pasrah" pada jarak antara rumah mereka ke sekolah. Lebih lanjut, hal ini memungkinkan turunnya semangat siswa untuk bersekolah. 

Senada dengan itu, Lidya (nama samaran) yang diwawancarai oleh Tim Kumparan dalam youtube content berjudul "Zonasi Datang, Sekolah Favorit Hilang" menyatakan bahwa ia gagal melanjutkan studi di kedua SMA pilihannya. 

Hal itu sempat menghilangkan semangatnya untuk bersekolah, meskipun beberapa waktu setelahnya ia dapat lebih legowo untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang bukan merupakan keinginannya.

Tapi, bukankah memang itu tujuannya? Tujuannya memang tidak lain untuk menghapus stigma "sekolah favorit" dan "sekolah sisa" di masyarakat sehingga murid-murid berpotensi tidak menumpuk pada satu sekolah saja. 

Jika masyarakat mengkritik pemerintah karena zonasi menyebabkan calon-calon siswa gagal melanjutkan sekolah di sekolah-sekolah favorit atau unggulan, maka pemerintah tidak akan bergeming, malah akan berasumsi bahwa kebijakan ini sudah maju satu langkah menuju keberhasilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline