Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Ketegaranku, Aku Rapuh (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

~Sebelumnya~

Keadaan menjadi gelap, aku lemas. Dan entahlah…. Tiba-tiba kumerasa pipiku ditepuk oleh seseorang,"Santi…Santi bangun Nak, tak inginkah kau ikut memandikan jenazah Ayahmu?"

Ya Tuhan, ternyata ini adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Ini bukan mimpi. Terlihat banyak sekali orang yang berjubel di rumahku. Ada yang menyiapkan rangkaian bunga untuk dibawa ke makam, ada yang menyiapkan kapas untuk perlengkapan jenazah Ayah,  dan ada juga yang sekedar duduk-duduk memenuhi tempat. Sedikit banyak masih ada orang yang membicarakan Ayahku. Entah, yang mereka bicarakan adalah kebaikan atau keburukannya. Aku tahu dan sadar, Ayahku tak mungkin lepas dari kesalahan.

Kulihat ibu dan Kakakku masih terkulai lemas di kamar Ayah, bahkan untuk sekedar membuka mata pun mereka tak mampu. Mulutnya terus menceracau tak jelas, sesekali kudengar juga jeritan Ibu. Jeritan pilu karena telah ditinggal sang belahan jiwanya. Ah, Kakakku pun juga tak mampu bangkit. Lunglai. Seperti aku tak pernah mengenalnya. Seorang sosok yang tegas, tegar, juga sangat melindungi itu kini terkulai tak berdaya.

Aku segera mengingat adikku, Hari. Dimana dia? Aku belum melihatnya sedari tadi. Ah, ternyata dia sedang bermain air di bak yang akan digunakan untuk memandikan jenazah Ayahku. Mungkin karena usianya yang masih belia, dia tak mengerti arti dari sebuah kematian. Arti sebuah ditinggalkan selamanya. Tak ada guratan sedih di wajahnya. Hanya tatapannya yang terlihat bingung dan kosong.

Aku pun mengambil air wudhu, mencoba menyatukan kembali puing hatiku yang luruh. Berdiri di samping tubuh tak bernyawa milik Ayahku. Kuambil gayung, kusiramkan air dari bak yang penuh bunga itu. Air mata tak kubiarkan jatuh menetes ditubuhnya. Kubiarkan air mata ini menyamudra dalam dadaku saja. Tak ingin sedetik pun aku melewatkan pemandangan di depanku terganti oleh temaram sinar mata yang dipenuhi embun berasa.

Kubersihkan setiap senti tubuhnya, telinganya, hidungnya, kuku-kuku jemarinya. Kutumpahkan segala baktiku dihadapannya, mesti dia tak merasakannya. Kucoba membayar segala kasih sayang yang dia berikan, meski tanpa dia menyadarinya. Aku pun juga membisikinya kata cinta, meski tanpa ia mampu mendengarnya. Ayah, sungguh aku mencintaimu.

Saat tubuhnya hendak dibawa ke peraduan terakhir, aku bangkit. Mencium sekali lagi kerenda berwarna hijau itu. Langkah-langkah  kereta kencana beroda 8 kaki manusia itu semakin cepat saja. Aku hampir tak mampu mengikutinya. Tapi aku harus kuat. Aku harus tegar. Aku harus mampu mengantar Ayahku di pembaringan terakhirnya.

[caption id="attachment_194641" align="aligncenter" width="400" caption="http://diaryrose.com/2010/03/page/2/"][/caption]

Ah, mengingat kematian Ayahku adalah hal tersedih yang pernah kualami. Aku kelas 3 SMP sewaktu itu, dan kau tahu? Itu terjadi seminggu sebelum aku ujian nasional. Tapi aku bersyukur, ujianku berjalan lancar dan nilaiku pun baik.

Sepeninggal Ayah, pola kehidupanku berubah. Kami hidup mengandalkan keringat Kakak juga hasil sawah yang tak begitu luas. Ibuku yang dulu hanya bekerja di rumah, melayani suami dan kami anak-anaknya, yang tak pernah tersengat panas matahari kini harus bermandi sinar terik matahari. Saat musim tanam, Ibu ikut ibu-ibu lain ke sawah untuk tanam padi di sawah orang. Saat musim panen, Ibu juga ikut serta merasakan pesta padi di sawah orang, dengan imbalan tak seberapa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline