Pelukis itu menatap ke jajaran seribu pulau
Mengambil kanvas hitam, menggambar sebatang lilin kecil
Dan menorehkan warna merah terang pada sumbunya
Lukisan itu terpajang menyempil di balai kota
Seorang sirik datang mengerat gambar lilin dan sumbunya
Dan menempelkannya di kanvas raksasa berwarna hijau
Kanvas baru itu ditegakkan di tengah alun-alun
Disemaraki oleh bunyi-bunyian dan nyanyi-nyanyian
Sumbu lilin berpendar merah di bawah cahaya purnama
Lalu tersiarlah gunjing tentang dewa asing bermata merah
Yang memandang rendah pada dewa tempatan
Terhasut oleh bualan, orang-orang memburu pelukis lilin
Kerumunan manusia berjubah putih memadati alun-alun
Merubung lukisan, menyeru ke langit dan meneriakkan hujatan,
"Laknatlah dia yang menista kaum kami!"
Baliho itu dirubuhkan dan seseorang diam-diam menyalakan geretan
Menyulut kanvas pada gambar sumbu lilin, membiarkan api memarak
Membakar alun-alun, membakar kota dan membakar negeri
Demikianlah dikisahkan dalam Kitab 234 Pasal 9
Tentang seorang pelukis yang dibui di tangsi bhayangkara
Atas tuduhan yang mengada-ada
Atas bencana luar biasa yang entah ulah siapa
Menjadi pelajaran bagi kita semua
Tentang risiko melukis lilin di atas kanvas hitam
Karena kegelapan tak menyukai pernah terang
Kegelapan akan bersekutu dengan kegelapan untuk melenyapkan terang
Tapi, jangan pernah berhenti mengekspresikan imajinasi luhurmu
Hidup hanya berarti jika kebenaran dari dalam dirimu mengalir ke kanvas hidupmu
Bahkan jika kegelapan itu mencoba mengungkungmu di pojok sel sempit
Cahayamu akan terus menyinari orang-orang yang berpikiran luas di luar sana
Bukankah hidup hanya sekali, sudah itu mati ? *)
Bukankah mati adalah keuntungan bagi mereka yang setia ? **)
Referensi :