Lihat ke Halaman Asli

Faiz Alfa

Akademistik

Memperbaiki Citra Makhluk Bernama Politik

Diperbarui: 10 Oktober 2022   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https://voxntt.com

Beberapa hari yang lalu, tepatnya Kamis (12/02/2022), penulis mengambil buku Dasar-Dasar Ilmu Politik dari percetakan. Kenapa tidak beli di toko buku? karena membeli di sana harganya relatif mahal, dalam bahasa penulis "harganya tidak merakyat". Sedangkan, keinginan untuk mempelajari hal-hal baru terus menggelora. Maka, penulis mengakalinya dengan mencetak buku sendiri. 

Bahannya bisa diunduh secara gratis di Internet, berupa buku elektronik (e-book) yang lumrahnya tersedia dalam format ".pdf". E-book tadi penulis kirimkan ke percetakan yang menerima jasa cetak buku. Biaya mencetak buku bila dibandingkan dengan harga di toko buku resmi perbedaannya cukup jauh. Terkadang sampai dua kali lipat biaya cetak. 

Tindakan tadi disadari betul oleh penulis sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bahkan, jangankan mencetak buku-nya, tindakan men-download e-book dari luar situs resminya saja sudah merupakan tindakan ilegal. Tapi, kondisi ekonomi penulis yang bisa dikatakan kurang mampu, membuatnya kesulitan untuk membeli buku original. Serta, dalam kaidah ilmu fikih dijelaskan bahwa keadaan sulit bisa menyebabkan seseorang boleh melakukan hal-hal yang terlarang (al-masyaqqah tubikhu al-mahdhhurat). Mari kita kesampingkan terlebih dahulu masalah ini. 

*** 

Dalam pemahaman orang awam, politik memiliki citra dan representasi yang negatif. Ini adalah akibat dari tindakan para pelaku politik yang cenderung melanggar hukum. Padahal mereka-lah pembuat hukum itu. Tindakan seperti penculikan terhadap rival politik, pengangkatan pejabat publik yang hanya didasarkan pada kesamaan partai, pembuatan kebijakan-kebijakan yang rancu (bertentangkan dengan kebijakan lain atau bahkan bertentangan dengan undang-undang), dan yang paling terlihat: korupsi, membuat citra politik menjadi negatif. 

Tindakan-tindakan itu tidak bisa diketahui oleh orang awam jika tidak ada media yang mengabarkannya. Secara umum, informasi tentang politik dapat diketahui masyarakat karena jasa media informasi. Baik yang bersifat cetak seperti koran, majalah, tabloid; elektronik seperti televisi, radio; maupun yang bersifat online seperti website, media sosial, dan platform digital lain. Saat ini, yang paling banyak digunakan adalah media indormasi berbasis online (dalam jaringan) atau internet. 

Media informasi kebanyakan menampilkan informasi yang negatif. Korupsi misalnya. Bukan tanpa alasan, berita negatif cenderung menarik dan memancing perhatian pembaca untuk menyelaminya lebih dalam. Dalam buku Politik Kuasa Media, diungkapkan bahwa berita buruk adalah berita baik (bad news is good news). Kata 'baik' di sini adalah dalam artian menarik minat pembaca. 

Sebenarnya, masyarakat punya kemampuan untuk memilah-milah informasi mana yang ingin dia terima. Jadi, hal ini memungkinkan untuk tidak hanya informasi-informasi negatif mengenai politik yang didapatkan, tapi juga informasi positif. Hanya saja, dalam pengamatan penulis masyarakat kurang memanfaatkan kemampuannya tadi, sehingga pada akhirnya mereka hanya menjadi konsumen pasif dari sebuah arus informasi (passive reader). 

Media informasi berbasis online yang mempunyai sistem algoritma, membuat seseorang yang sudah mengonsumsi satu berita diarahkan untuk mengikuti berita lain yang masih ada kaitannya dengan berita pertama. Begitu seterusnya sehingga dia seperti berada dalam sebuah gelembung informasi. Dalam bahasa sehari-hari, informasi yang ditampilkan seputar "itu-itu saja". Inilah yang kemudian dinamakan bubble effect (efek gelembung). 

*** 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline