Lihat ke Halaman Asli

Mengarahkan Suara Knalpot Bising ke Pelanggar, Upaya Penegakan Hukum yang Kurang Tepat

Diperbarui: 16 Maret 2021   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini sedang masif penertiban pengguna knalpot after market (bukan standar pabrik) yang bersuara bising, cara penertiban nya pun saat ini beragam yaitu bukan lagi sebatas penilangan namun ada juga sebagian yang menerapkan perusakan terhadap knalpot bising bahkan sampai dengan mengarahkan suara knalpot dengan cukup keras ke telinga pengguna, dengan harapan pengguna jera dan kembali menggunakan knalpot standar pabrik yang tak bersuara bising. 

Apakah penggunaan knalpot bising melanggar hukum? 

Berdasarkan pasal 48 ayat 3 huruf b Undang-undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menjadi salah satu kelayakan kendaraan untuk di operasionalkan adalah mengenai kebisingan suara. 

Mengenai kebisingan suara, terdapat aturan standarisasi tingkat kebisingan suara pada kendaraan. Diatur di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia P. 56/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019. Pada kendaraan yang berkapasitas mesin 80cc kebawah, maksimal tingkat kebisingan sebesar 77 desible. Pada kapasitas mesin 80 sampai 175 cc, maksimal tingkat kebisingan 80 desible. Selanjutnya pada kapasitas mesin 175cc keatas, maksimal tingkat kebisingan sebesar 83 desible. 

Apabila diketahui melanggar batas maksimum tersebut, maka berdasarkan pasal 285 ayat 1 Undang-undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengguna diancam pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda paling banyak sebesar Rp. 250.000,00.

Secara jelas bisa dipastikan, knalpot yang melebihi ambang batas maksimal desibel pada kapasitas mesin tertentu bisa ditetapkan melanggar peraturan. 

Lalu apakah cara merusak knalpot secara langsung dan mengarahkan suara knalpot yang cukup tinggi ke telinga pengguna sudah tepat? 

Saya rasa jawaban nya Tidak. Cara tersebut tentu sangat merugikan bahkan berpotensi melukai indera pendengaran pengguna kendaraan yang diduga melanggar aturan penggunaan knalpot. 

Dalam proses pembuktian untuk memastikan pengendara bisa ditetapkan sebagai pelanggar, pihak kepolisian tentu harus menggunakan prosedur yang ada dan bukan dengan cara yang sesuai keinginan pribadi agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penegakan hukum. 

Untuk mengukur tingkat kebisingan, pihak anggota kepolisian dilapangan yang melakukan penilangan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu (sumber video youtube siger gakkum official) :
1. Mengukur tingkat kebisingan knalpot dengan alat ukur Sound Level Meter/Desible Meter.
2. Melakukan pengecekan ditempat yang tidak ramai kendaraan agar mendapat hasil yang akurat
3. Mengukur kebisingan kendaraan dengan jarak 1 meter dari kendaraan dan ketinggian juga sekitar 1 meter (pengecekan tanpa harus menekan gas pada kendaraan)

Dalam hal penindakan terhadap pelanggar, saya mengkritisi pihak anggota kepolisian yang menerapkan hukuman tidak sesuai dengan prosedural. Tindakan mengarahkan telinga pelanggar ke knalpot yang di tekan tuas gas nya oleh aparat berkali-kali hingga mengeluarkan suara yang sangat keras adalah cara yang salah dan dapat menyebabkan terjadi nya luka pada telinga. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline