Lihat ke Halaman Asli

Fadhilah Aliyyah Widya

Mahasiswa Universitas Airlangga

Kenali Toxic Parenting, untuk Menjadi Generasi Pemutus Mata Rantainya

Diperbarui: 7 Juli 2022   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Saat mendengar kata "Toxic", hal pertama yang muncul di pikiran kita tentu saja adalah hal-hal yang buruk dan bersifat negatif. Seperti hal yang akan kita bahas yaitu toxic parenting yang menimbulkan dampak negatif pada anak. Sebelum membahas lebih jauh tentang toxic parenting kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu parenting dan apa yang dimaksud dengan toxic parenting.

Parenting merupakan suatu pola asuh orang tua terhadap anak, dan pengasuhan yang dimaksud meliputi cara mendidik, berkomunikasi, melindungi dan lain sebagainya. Dalam proses parenting perlu adanya interaksi total yang baik antara orang tua dengan anak agar tidak menimbulkan pola asuh yang toxic atau yang kita kenal dengan istilah toxic parenting.

Toxic parenting merupakan suatu tipe pola asuh yang salah dan dapat berpengaruh buruk pada perkembangan anak. Hal ini sering terjadi atas dasar keegoisan orang tua yang memperlakukan anak tanpa adanya rasa menghargai dan menganggap semua tindakan yang dilakukan kepada anaknya selalu benar sehingga membuat anak merasa tertekan karena kontrol berlebih dari orang tua.

Pola asuh yang toxic perlu untuk segera ditangani agar tidak menimbulkan luka yang mendalam bagi anak. Oleh karena itu kita harus mengetahui beberapa tindakan yang menjadi ciri dari toxic parenting sehingga kita dapat segera menyadari apabila terjadi pola asuh yang toxic. 

Pertama, hal yang seringkali menjadi ciri toxic parenting yaitu dari segi komunikasi, dimana anak terlalu dibatasi dalam menyampaikan pendapatnya dan hal ini seolah membuat komunikasi yang seharusnya dua arah menjadi satu arah saja dari orang tua ke anak. 

Dalam toxic parenting ini orang tua cenderung menganggap segala perkataan dan pendapat anak itu salah karena anak dianggap bodoh dan hanya perlu mengikuti perkataan orang tua. Kedua, orang tua tidak memenuhi kebutuhan emosional anak dan tidak peduli terhadap perasaan anak. 

Contohnya saat anak merasa sedih kemudian menangis, seharusnya orang tua melakukan pendekatan emosional untuk meredam rasa sedih anak dengan memvalidasi perasaannya kemudian bisa membantu anak untuk lebih tenang, bisa dengan mendengarkan keluh kesah anak, memberikan pendapat tentang masalah yang dialami anak, serta memberi sedikit sentuhan fisik baik dengan mengelus ataupun dengan memeluk anak. 

Namun orang tua dengan pola asuh toxic akan menganggap anak sebagai anak yang cengeng dan tidak menghargai apa yang dirasakan oleh anak bahkan seringkali saat anak sedih karena suatu masalah orang tua cenderung menghakimi anak. 

Sering saat kita menjumpai anak yang sedang menangis kemudian orang tuanya mengatakan "Gitu aja kok nangis sih?", "Dasar anak cengeng", "Itu kan salahmu sendiri", jika terus berlanjut maka hal ini akan menjadi akar dari toxic parenting. Ketiga, orang tua tidak menghargai pilihan anak karena menganggap pilihan orang tua merupakan pilihan yang terbaik bagi anaknya padahal anak memiliki hak untuk menentukan suatu pilihan dalam proses hidupnya.

Toxic parenting ini cenderung menjadikan orang tua sebagai pemegang kontrol penuh terhadap kehidupan anak. Tentu saja pola asuh seperti ini akan memberikan pengaruh buruk dalam perkembangan anak. 

Anak yang tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya lebih berpotensi untuk menjadi anak yang pemalu dan takut untuk berekpresi karena ia akan selalu berpikir bahwa apa yang akan ia sampaikan adalah hal yang salah sehingga anak juga akan mengalami kesulitan saat bersosialisasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline