Lihat ke Halaman Asli

Evi Siregar

TERVERIFIKASI

Dosen-peneliti

Membaca untuk Membaca, Berbeda Jauh dengan Membaca untuk Menulis

Diperbarui: 10 Desember 2021   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi membaca | Sumber: Pexels/RF._.studio

Ketika kita membaca sebuah tulisan (teks, artikel, atau jenis tulisan apapun), pada umumnya kita tidak membaca semua kata satu per satu. Apalagi, ketika kita membaca sebuah berita. Mata kita akan dipandu hanya untuk menjawab pertanyaan yang sudah kita siapkan sebelum membaca: apa yang terjadi? Di mana hal itu terjadi? Oh begitu. Titik. Selesai. Itu sebabnya, mata kita akan berjalan cepat dan, bahkan bagaikan punya kaki, ia melompat-lompat. Ia diperintah hanya untuk menemukan jawabannya.

Bagi mereka yang lebih curious, mungkin akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya, seiiring dengan proses membaca yang sedang terjadi, misalnya: mengapa hal itu terjadi? Apa dampaknya? Bagaimana solusinya? Oleh karena perlu mendapatkan banyak jawaban, mata kita akan berjalan sedikit lebih lamban dan lompatan-lompatan yang dilakukannya pun tidak terlalu jauh.

Namun, pekerjaan kita juga selesai sampai di situ. Kita cenderung tidak memperhatikan hal-hal yang lain, misalnya bagaimana bahasanya, bagaimana penjelasannya, apakah penjelasan itu lengkap atau tidak, apakah penjelasan itu logis atau tidak, dan lain sebagainya. Mengapa? Karena kita sudah menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kita buat, yang merupakan tujuan kita membaca tulisan tersebut.

Semakin banyak pertanyaan yang kita buat (yang berarti bahwa semakin banyak jawaban yang ingin kita temukan), semakin lambat gerakan mata dan lompatan-lompatannya.

Dalam membaca untuk membaca, prosesnya berbeda dengan membaca untuk menulis. Afirmatif, bahwa untuk menulis, kita perlu membaca. 

Tak akan mungkin kita bisa menulis tanpa membaca, apapun jenis tulisan itu, karena kita memerlukan informasi dan/atau data untuk menyusun deskripsi yang kita buat, apalagi kalau kita mau menambahkannya dengan sebuah argumentasi.

Membaca untuk menulis | Ilustrasi. dariusforoux.com

Saya masih ingat betul pesan salah seorang dosen favorit saya, ketika mengikuti mata kuliah penulisan populer. 

Katanya, "kalau kita sudah selesai membuat sebuah tulisan yang panjang, tetapi masih banyak data yang belum dimasukkan, tulisan itu banyak bolongnya. 

Namun, ketika data yang kita gunakan terlalu sedikit, tulisan itu banyak bohongnya." Pesan itu, meski sudah puluhan tahun, masih terpatri dalam ingatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline