Lihat ke Halaman Asli

Erna Suminar

Pembelajar, sederhana dan bahagia

Debat Agama, Apakah Tuhan Suka?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1396744961729387364

[caption id="attachment_330284" align="aligncenter" width="650" caption="credit image : http://www.thepresidentpost.com"][/caption]

Suatu hari, ada teman menulis di inbox facebook saya, ia ingin menunjukkan tentang kesesatan Islam  dalam pandangan agamanya. Beberapa kali, saya diajak debat soal agama, bahkan soal perbedaan cara pandang di dalam Islam itu sendiri. Saya hanya tersenyum, dan menjawab, “Saya tidak tahu, apakah Tuhan suka dengan  debat agama yang saling menghinakan. Setahu saya, agama itu untuk memuliakan ahlak, memuliakan Tuhan, memuliakan kemanusiaan itu sendiri. Debat kusir agama, seringkali berujung pada menghunus kebencian dan dendam untuk menyembah ego, bukan menyembah Tuhan. Karena, jika kita benar-benar menyembah Tuhan, maka kita akan tersungkur sujud merasa tak berdaya dihadapan Sang Maha. Ketaatan pada Tuhan akan melahirkan kerendahatian dan kelemah-lembutan.   Seluruh dada dan hatinya di penuhi oleh cinta. Memuliakan Tuhan adalah dengan cara memuliakan kemanusiaan itu sendiri, menebar cinta dan kebaikan serta kasih sayang….”



Pengalaman Hidupku

Sebenarnya, pengalaman hidup saya yang mempribadi tidak begitu istimewa. Ketika saya masih kecil, saya belajar membaca Qur’an, kepada ustazd yang bersahaja : Saya hampir tak pernah meninggalkan shalat dan membaca Al Qur’an.  Ketika saya sekolah di   SMA Katolik, saya bersinggungan dengan banyak etnis dan agama – terutama agama Katolik.

Di sana saya belajar agama Katolik, walaupun itu hanya opsional, mengingat saya seorang muslimah.  Sepanjang saya sekolah, saya tidak pernah merasa ada kendala apa pun. Sering saya duduk-duduk di Kepastoran untuk membaca buku, dengan baik hati Pater Tono menawarkan makanan dan minuman di kulkasnya.  Kepada Pater Tono, saya merasa seperti kepada Bapak. Pintu gereja terbuka untuk saya. Dan saya memasukinya dengan rasa hormat.  Namun, di dalam tas saya, ke mana pun, saya selalu membawa mukena – saya akan shalat di mana pun, ketika panggilan adzan tiba.  Yang lucu, kadang teman-teman saya yang beragama Kristen, Katolik juga  Buddha – mengantar saya shalat ke mesjid, lalu  mereka menunggui  di halaman mesjid.

Selepas SMA, saya menjadi aktivis mesjid – dan aktivis dakwah. Tak pernah sedikit pun keinginan dalam hati saya melukai hati orang-orang Kristen, Katolik, Buddha dan lainnya, bahkan dalam kata-kata karena perbedaan keyakinan.  Tuhan telah menciptakan keragaman sebagai bagian dari kekuasaan-Nya yang tiada hingga, sebagai pembelajaran untuk menemukan pintu-pintu kearifan.  Hingga kini saya  bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta di Bandung, hidup saya tak pernah lepas dari aktivitas dakwah. Dengan teman-teman Katolik, Kristen dan Buddha, saya bersahabat akrab hingga sekarang, dan masih sering berkumpul, tanpa pernah menyinggung perbedaan keyakinan di antara kami.

Saya berkesempatan belajar agama Buddha, sebagai bagian riset untuk salah satu buku saya. Alhamdulillah, saya diterima dengan baik oleh Bhikku dan para pendeta di sana. Ketika waktu shalat tiba, saya dipersilakan untuk shalat di  salah satu ruangan  di vihara. Karena vihara dekat dengan mesjid, akhirnya saya memilih shalat di mesjid. Saya masih berkomunikasi  baik dengan salah seorang pendeta Buddha hingga sekarang. Pintu vihara   terbuka untuk saya kunjungi, kapan pun saya ingin datang ke sana. Terus terang, di mana pun – saya merasa aman dan nyaman. Bertemu siapa pun, hati saya merasa selalu terhubung.  Saya percaya kepada kasih sayang, cinta dan kebaikan akan membuka selubung perbedaan.

Tadi malam, saya mengobrol akrab, kadang diselingi tawa berderai  di telefon dengan sahabat baik saya, seorang Pastor. Hati saya terhubung padanya. Saya mengasihinya.   Saya menuliskan catatan untuknya di  buku saya yang baru terbit, “Obrolan di Kedai Plato” –  “ Ketika kebaikan bertemu dengan kebaikan, yang ada hanya keinginan melayani. Ketika cinta bertemu dengan kasih, yang ada hanya penyatuan, engkau adalah aku.  Sahabatku terkasih, Pater Marsel,  mari kita menanam cinta dan kebaikan.  Mari kita menyemai kasih dan menabur kedamaian.”

Karenanya, saya akan sangat  sulit diajak debat kusir agama. Saya tidak terlalu pusing dipandang orang bertakwa atau tidak.  Karena saya hanya memiliki cinta. Ya, hanya cinta.  Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan saya akan tetap  menjadi seorang Islam, hingga akhir menutup mata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline