Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Golput dan Penyakit Menular Masyarakat

Diperbarui: 15 Januari 2018   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: teropongsenayan.com

GOLPUT atau Golongan Putih masih menjadi salah satu "kerikil" dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di tanah air. Golput adalah istilah bagi pemilih yang dengan penuh kesadaran tidak menggunakan hak pilihnya.

Sejak istilah itu dipopulerkan oleh para aktivis mahasiswa di era 1970-an, jumlah golput nampaknya bukan semakin berkurang, tapi justru semakin signifikan. Jika dulu di zaman old, para aktivis menyerukan masyarakat untuk menjadi golput karena menentang sistem Pemilu yang sangat tidak adil di bawah rezim Orde Baru, nampaknya alasan itu sudah tidak relevan di zaman now.

Kita sekarang sudah berada di era reformasi. Sistem Pemilu pun sudah ditetapkan sesuai tuntutan reformasi terlepas dari segala kekurangannya. Lagian, mana ada sih sistem buatan manusia yang sempurna. Pasti ada minusnya. Karena sistem itu dibuat dan disepakati setelah melalui banyak perdebatan dan kepentingan. Itu sebabnya, menjadi GOLPUT di zaman now, menurut hemat saya, bukan saja TIDAK BAIK, tapi juga merugikan bangsa dan negara.

Berikut oret-oretan saya tentang kerugian menjadi golput. Pertama, orang yang golput dapat dikategorikan sebagai kelompok yang pesimis plus cuek terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pesimis Pemilu tidak akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik, atau karena cuek bebek terhadap Pemilu, lalu dengan enteng tidak menggunakan hak pilihnya.

Untuk yang pertama ini, barangkali ada baiknya kita renungkan dalam-dalam pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan: "Jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya".

Jadi, kalau selama ini banyak pemimpin dalam berbagai level belum sesuai harapan, mungkin karena banyak orang baik yang pesimis dan cuek, lalu menjadi golput di setiap Pemilu. Akhirnya, terpilihlah pemimpin yang jauh dari harapan rakyat. Pertanyaannya, masihkah kita mau kondisi seperti ini terus berlangsung?

Kedua, orang yang golput bisa juga dicap sebagai orang yang tidak cinta tanah air. Sebab, Pemilu adalah salah satu instrumen atau tahapan yang harus dilalui dalam sebuah negara demokrasi. Dalam ungkapan yang lebih keras, mungkin dapat disebut sebagai "pengkhianat bangsa". Dalam Islam (sebagai agama mayoritas di negeri ini) cinta tanah air adalah bagian dari iman dan menjadi pengkhianat tentu saja sangat dibenci oleh agama apapun.

Ketiga, silahkan ditambah sendiri. Hehehe...

Yang pasti, angka golput dari Pemilu ke Pemilu sesuai data dari KPU cenderung meningkat. Jika pada Pemilu pertama tahun 1955 angka golput hanya sekitar 8,6 persen, pada Pilpres 2014 lalu malah naik drastis menjadi sekitar 29,1 persen. Golput sepertinya termasuk penyakit menular masyarakat. Karena orang yang bersikap golput bisa menularkan sikapnya itu kepada masyarakat yang lain.

Padahal semakin besar angka golput, tentu menjadi indikator kurang suksesnya suatu Pemilu.

Sementara, sistem Pemilu secara langsung dipilih agar siapapun pemimpin yang terpilih mendapat mandat dan legitimasi yang lebih kuat. Tapi, apa jadinya jika di setiap Pemilu, malah justru kelompok golput yang secara kuantitas sebenarnya menang. Mungkin itu juga sebabnya, banyak pemimpin di negeri ini sekalipun lahir dari Pemilu secara langsung, tapi terkesan lemah dan tidak bisa berbuat banyak. Sebab, sebenarnya ia tidak didukung oleh mayoritas rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline