Lihat ke Halaman Asli

Kontribusi Indonesia dalam Gerakan Non-Blok (GNB)

Diperbarui: 1 Maret 2018   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Non Aligned Movement atau Gerakan Non-Blok adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh negara-negara penganut prinsip 'politik cinta damai' yang turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia yakni dengan tidak beraliansi bersama blok-blok manapun. Latar belakang yang mendasari terbentuknya organisasi ini adalah adanya Dasasila Bandung yang disepakati saat Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang memberi ide bagi negara-negara bekas jajahan untuk menggalang solidaritas dan bekerja sama dalam rangka melenyapkan segala bentuk kolonialisme. 

Selain itu, krisis yang terjadi di Kuba pada tahun 1961 di mana Uni Soviet membangun pangkalan militer yang menimbulkan ancaman kepada Amerika Serikat dan mempertegang suasana antara Blok Barat dan Blok Timur juga mendorong terbentuknya GNB. Pada akhirnya, GNB resmi berdiri pada tanggal 1-6 September 1961 tepatnya saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia. Adapun kelima tokoh dunia yang memprakarsai berdirinya GNB adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.

Tujuan utama dari organisasi GNB tentunya adalah untuk meredakan ketegangan antara dua blok yang terlibat perseteruan; mempersatukan negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan negara peserta perang dingin; serta mewujudkan kehidupan tertib, damai, dan aman, berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan menentukan cita-cita. 

Disamping itu, GNB juga memiliki tujuan lain yakni untuk mengembangkan solidaritas antara negara-negara anggota yang tak lain adalah negara berkembang dalam mencapai kemakmuran, kemerdekaan, kedaulatan, dan kesejahteraan; memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan menentang segala macam bentuk kolonialisme, rasialisme, dan apartheid; serta mengusahakan hubungan antarbangsa di dunia secara demokratis.

Sebagai salah satu negara penggagas terbentuknya GNB tentu Indonesia memegang peran sentral dan kontribusi penting dalam jalannya organisasi ini. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa Indonesia menilai penting GNB tidak sekadar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi juga mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Berikut ini beberapa contoh bentuk peranan yang telah dilakukan Indonesia selama bergabung dengan GNB.

Indonesia mendapat kepercayaan untuk menjadi pemimpin organisasi GNB pada tahun 1992 hingga tahun 1995, dimana Presiden RI ke-2 Soeharto diangkat menjadi Sekretaris Jenderal (SekJen) Gerakan Non-Blok. Pada saat masa kepemimpinannya, Indonesia berhasil berkomitmen terhadap prinsip-prinsip GNB dan meraih beberapa prestasi. 

Indonesia juga mampu membawa organisasi tingkat dunia ini dalam menentukan arah dan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan dengan cara menentukan prioritas baru, metode pendekatan dan orientasi yang baru pula. Di mata dunia internasional Indonesia dinilai mampu memberi warna baru pada GNB dengan keputusannya mengenai penekanan kerja sama pada pembangunan ekonomi negara-negara anggota. Pada tanggal 1 hingga 7 September 1992 Indonesia sukses menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB yang ke-10 di Jakarta. Dalam KTT ini berhasil dirumuskan suatu kesepakatan bersama yang dikenal dengan "Pesan Jakarta" dimana di dalamnya terkandung visi dan misi GNB.

Indonesia juga dipercaya untuk menyelesaikan berbagai konflik regional antara lain: konflik di Kamboja, gerakan separatis Moro di Filipina dan sengketa di Laut Cina Selatan. Konflik Kamboja ini berhasil mereda setelah diadakannya serangkaian pembicaraan Jakarta Informal Meeting (I dan II) serta Pertemuan Paris yang juga turut didukung oleh Indonesia. Kemudian, di tahun 1991, Indonesia juga berhasil meredam ketegangan di kawasan bekas Yugoslavia.

Di bidang ekonomi, Indonesia turut berperan dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam hubungan ekonomi internasional dan ikut menunjang pembangunan berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah Presiden Soeharto berhasil membuka kembali Dialog Utara-Selatan yang telah lama mengalami pemutusan, yakni dalam KTT G-7 di Tokyo Jepang tahun 1993. Selain itu, dalam KTT ke-9 GNB di Beograd bulan September 1989, Indonesia termasuk dalam 15 negara berkembang yang berhasil membentuk Kelompok Tingkat Tinggi bernama G-15 sebagai wadah kerja sama ekonomi dan pembangunan bagi negara-negara pendirinya.

Sedangkan, kontribusi Indonesia di bidang politik khususnya dalam mewujudkan tujuan utama GNB yakni perdamaian dunia ditunjukkan dengan dorongan dan dukungan penuh Indonesia terhadap perjuangan Palestina untuk menjadi negara merdeka dan berdaulat. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada  15 September 2016 dalam Pertemuan Tingkat Menteri Komite Palestina negara-negara GNB di Pulau Margarita, Venezuela  15 September 2016.

Beliau menyampaikan bahwa Indonesia mendukung insiatif pemerintah Perancis untuk memulai kembali proses perdamaian di Palestina. Salah satu contohnya, dengan menjadi satu 28 negara yang hadir dalam Pertemuan Tingkat Menteri mengenai Perdamaian Timur Tengah di Paris, 3 Juni 2016. Di akhir pertemuan itu, para Menteri dari negara anggota Komite Palestina GNB telah mengesahkan sebuah Deklarasi Tingkat Menteri. Berisikan penegasan kembali para negara anggota Komite Palestina GNB dalam rangka mendukung perjuangan Palestina serta berbagai langkah nyata yang dapat dilakukan dalam mendukung hal tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline