Lihat ke Halaman Asli

Bangkit dari Depresi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya akan menceritakan kisah saya bangkit dari depresi.

Kejadian berawal pada saat saya jatuh dari tangga di rumah sendiri pada thn 2000 yang mengakibatkan salah satu syarat terjepit dan mengharuskan saya opname di RS Carolus selama 2 minggu. Saya tidak bisa beraktivitas karena rasa nyeri yang luar biasa setiap kali menggerakkan kaki. Selama perawatan di rumah sakit, saya lebih banyak tidur. Perawatan masih berlanjut dengan berobat jalan, kira-kira 3 bulan lamanya.

Tahun 2000 merupakan tahun dengan banyak "musibah" : saya keluar dari pekerjaan karena tidak cocok dengan atasan, ibu saya kena stroke dan bolak-balik dirawat di rumah sakit. Kata dokter jiwa saya, saya banyak "kehilangan" : aktivitas, pekerjaan & sakitnya ibu saya (yang akhirnya meninggal di tahun tsb.)

Kejadian beruntun tersebut rupanya mempengaruhi kestabilan saya, selain raga karena tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala, juga jiwa saya. Gejala-gejala yang saya alami a.l. :

-  mudah sedih, hanya membaca artikel tentang pembunuhan, saya bisa merasa seolah-seolah saya yang menderita

-  takut keluar rumah tanpa teman, sehingga saya memperkerjakan 1 perawat, selain merawat juga menemani kemana-mana

-  kehilangan minat / semangat bersosialisasi

-  kehilangan selera makan, terutama pagi hari, sehingga badan menjadi kurus.

-  gangguan pola tidur. Saya mudah tidur pada malam hari, tapi pada saat bangun tidur, merasa gelisah tanpa sebab.

(Catatan :  informasi dari dokter jiwa saya,  ada pasien depresi yang melek malam hari dan tidur siang hari, jadi kebalikan dari saya)

Perasaan-perasaan tsb sangat mengganggu saya, dan karena saya hobby membaca (untunglah hobby yang satu ini, tidak hilang dan tetap ada), saya membeli buku-buku, salah satunya adalah buku yang ditulis oleh seorang Pastor Katolik yang berdomisili di Amerika. Umat-umatnya merasa bahwa si Pastor sangat simpatik, karena beliau bisa menangis saat memimpin ibadah kematian. Dari buku tsb, si Pastor bersaksi bahwa sebenarnya dia menangis bukan seperti anggapan umatnya, namun dia merasa sedih saja tanpa sebab. Hal yang hampir sama seperti yang saya alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline