Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Kisah Seorang Nenek, Semakin Tua Semakin Merana

Diperbarui: 28 Februari 2021   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi nenek (dok.ebookanak/Transmedia)

Ini kisah tentang seorang nenek yang tempat tinggalnya tak jauh dari rumah saya, sekitar 200 meter. Dia berjualan nasi uduk di sebuah gubuk reyot di pinggir jalan kecil depan rumahnya.

Saya sering melewati jalan ini untuk olahraga pagi, jalan kaki sekitar satu km. Saya lihat jarang ada orang yang membeli. Mungkin karena gubuknya yang tampak kumuh dan dagangan tidak ditata dengan baik.

Karena kasihan, suatu hari saat berhenti dan membeli nasi uduk serta gorengan. Dia melayani dengan tertatih-tatih, kakinya pincang.

Sambil menunggu dia membungkus makanan, saya ajak bercakap-cakap. Saya bertanya, mengapa tidak ada yang membantunya.

Ternyata dia memiliki seorang anak lelaki yang tinggal di sebelah rumahnya. Anak itu sudah menikah dengan perempuan dari wilayah Indonesia Timur. Baik anak maupun menantu tidak pernah mau membantunya.

"Menantu saya kasar, saya sering dibentak-bentak," curhat di nenek.

Bahkan menurut si nenek, sang menantu sering menyumpahinya agar cepat mati. Mereka menganggap si nenek adalah gangguan bagi kehidupan mereka. Karena itu mereka tidak pernah membantu, segalanya dilakukan seorang diri.

Ketika dia terjatuh di gubuknya, anak dan menantunya bukan merawat dengan kasih sayang, justru malah dimaki-maki. Si nenek berusaha berjalan dengan tongkat kayu yang dibuat sendiri.

Si nenek bercerita dengan terisak, membuat saya terenyuh menahan air mata. Ah, alangkah tragisnya, semakin tua hidup merana. Saya berdoa dalam hati agar Allah memberikan pertolongan.

"Saya sering minta sama Allah, agar dicabut nyawa ini. Saya sudah capek," tangis si nenek.

Di dekat rumah saya melihat sebuah mobil. Saya tanyakan itu mobil siapa, nenek menjawab itu mobil anaknya. Sungguh ironi, anak hidup berkecukupan sementara ibunya terlantar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline