Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Perempuan yang Terbuang

Diperbarui: 5 Februari 2020   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dok.pri)

Sudah lama aku mencari Tini (nama samaran), sahabat di masa kuliah. Tadinya kami sempat bertemu di Facebook beberapa tahun yang lalu, tetapi tiba-tiba ia menghilang. Akun facebooknya tidak aktif lagi. 

Akhirnya kutemukan jejaknya ketika bertanya pada salah seorang teman kuliah yang juga mengenal dia. Kebetulan teman tersebut berhasil memiliki no hape sahabatku. Dengan gembira aku menghubungi Tini melalui WhatsApp.

Tini, sahabatku ini dahulu sering menjadi sandaranku. Ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya menjadi direktur sebuah pabrik di Bandung. Sedangkan aku, justru dari keluarga pas-pasan, karena itu aku kuliah sambil bekerja menjadi wartawan magang untuk mencari biaya kuliah.

Sayangnya, untuk menyelesaikan skripsi aku harus berhenti bekerja, sebab menjadi wartawan sangat menyita waktu. Padahal skripsi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kebetulan Tini juga sedang mengerjakan skripsi. Aku sering menginap di tempat kostnya dekat kampus. Selama itu pula aku numpang makan bersama dia.  Tini juga kerap mengajak ke Bandung, ke rumah orang tuanya. Aku tak pernah melupakan kebaikan Tini.

Berkat nomor telepon yang diberikan teman tersebut, alhamdulillah kamipun dapat menyambung komunikasi. Hingga akhirnya aku membuat janji pertemuan dengan dia beberapa bulan lalu di sebuah restoran Jepang.

Dengan tak sabar aku menanti kedatangannya. Berkali-kali aku mengirimkan petunjuk menuju restoran tersebut. Aku sengaja duduk dekat pintu agar bisa melihat dia tiba. 

Beberapa lama kemudian, aku melihat seorang wanita berkerudung yang berjalan terpincang-pincang menuju pintu restoran. Aku terkesiap, dia adalah Tini. Raut wajahnya tidak berubah meski sudah dihiasi kerutan sebagaimana mataku. Aku menyambut dan memeluk dia dengan terharu.

Aku memesan makanan dengan porsi lengkap untuk menyenangkan sahabatku. Kami memilih meja di lantai dua yang lebih sepi, dekat jendela agar bisa melihat pemandangan di luar.

Aku tidak terburu-buru menanyakan apa yang terjadi. Kami makan dahulu sambil membicarakan hal-hal umum. Kami bernostalgia tentang saat kuliah dulu.

Setelah makan, dengan hati-hati aku menanyakan apa yang terjadi dengan dia selama ini. Ternyata ia mengalami perlakuan kejam dari kakak-kakaknya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline