Lihat ke Halaman Asli

Arsyad Iriansyah

Pengalaman adalah guru, setiap orang adalah murid dan guru.

Kehangatan Masyarakat Pegunungan Bintang dan Toleransi yang Tak Sekadar Bicara

Diperbarui: 6 Januari 2017   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok: Shofy

Tulisan kali ini akan bercerita tentang perjalanan Shofy Septiana atau akrab dipanggil Sofi. Ia baru saja pulang dari Pegunungan Bintang tempat belajarnya selama setahun di sana. Dia mengabdikan dirinya untuk menjadi ibu guru di SDN Inpres Aboding program Indonesia Mengajar.

Anak muda yang gila! Mungkin itu cocok untuk menggambarkan cewek lulusan Universitas Negeri Jakarta ini. Walaupun telah bekerja selama 2 tahun di salah satu lembaga NGO berbasis sosial sebagai Finance and Administration Manager tak membuatnya untuk lupa akan mimpinya sejak kuliah yaitu menjadi Pengajar Muda. Baginya menjadi pengajar muda itu anugerah Tuhan yang tak pernah ia bayangkan.

Kali ini Shofy dengan baik hati akan membagikan ceritanya. Selamat membaca ceritanya dalam bentuk wawancara, berikut ini:

Bagaimana perasaanmu saat diumumkan bahwa kamu akan ditempatkan di Pegunungan Bintang selama setahun?
Menjadi seorang pengajar muda memang hidupnya selalu jadi penuh kejutan dan tantangan. Kejutan-kejutan selanjutnya yang terus silih berganti mengantarkanku pada momen di mana pengumuman penempatan pengajar muda. Hati berdebar, tapi hati ini sudah kuikhlaskan. Dimana pun nanti ditempatkan, itulah hadiah Tuhan, tempatku untuk mengabdi.

Di luar ekspektasiku bahwa takdir membawaku ke Pegunungan Bintang. Kabupaten yang terletak di perbatasan timur Indonesia, perut Papua. Dari namanya sih unik banget, ada gunung dan ada bintang. Dan benar saja, tiap malem gak pernah ketinggalan ngeliatin bintang yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Indah bangetlah..

Apakah ada perasaan khawatir sebelum kamu berangkat melihat kamu seorang perempuan dan muslim?
Awalnya sih, hati agak tegang karena tau kalau di Pegunungan Bintang itu mayoritas beragama Katolik dan Kristen Protestan tapi kekhawatiran itu sekejap lenyap ketika pertama kali aku tiba di distrik, tempatku mengajar. Saya adalah orang Islam pertama yang tinggal bermasyarakat di Desa Kungulding, Distrik Okaom. Saya disambut dengan tangan terbuka. Begitu ramah dan begitu antusias.

Awalnya saya terlihat asing bagi mereka. Ah, tapi itu ternyata perasaan dan kekhawatiranku aja. Maklumlah ya, mereka belum terbiasa dengan pendatang, jadi yang pasti jadi pusat perhatian banget. Setelah bertegur sapa dan saling berjabat tangan mereka orang ramah dan baik. Wajah memang sangar tapi hati penuh dengan kelembutan.

Saya datang ke kampung langsung singgah ke rumah Bapak Kepala Desa, Bapak Martinus namanya. Kami disambut dengan baik. Orang Papua biasa menyambut tamu di dapur jadi kalo mau main ke rumahnya atau sekadar bertamu, kita ketuk pintunya di pintu dapur karena bagi mereka dapur adalah tempat berkumpul bersama, makan bersama, tidur bersama, pokoknya tempat segala aktivitas dilakukan deh di sana. Tak hanya manusia saja yang ada di sana, tak ketinggalan hewan peliharaan mereka seperti babi dan anjing juga ikut berkumpul di sana.

Mereka sangat menghormati kami para pendatang dan melayani selayaknya sudah menjadi saudaranya sendiri. Sayur dan kayu bakar disediakan, bahkan rumah kami langsung dibangunkan dapur karena pada saat itu kami menempati rumah yang belum memiliki dapur. Seluruh masyarakat dan anak-anak gotong royong ikut membantu mendirikan dapur di belakang rumah. Tak hanya itu, secara terus menerus kami selalu mendapatkan hasil panen dari mama dan bapak di sana, seperti boneng, keladi, sayur-sayuran.

Perjalanan menuju Pegunungan Bintang tepatnya di ibu kotanya yaitu Oksibil cukup jauh, bagaimana kamu menuju sekolah atau desamu?
Perjalanan dari kabupaten ke desaku bisa ditempuh sekitar 3 jam 30 menit, jika ditempuh dengan jalan kaki. Alternatif lain jalan menuju kampung adalah dengan naik ojek motor besar seharga 100rb atau naik taksi seharga 50rb. Jangan bayangkan taksi seperti di perkotaan Jakarta ya, taksi yang berupa mobil sedan. Sama sekali bukan, taksi di Pegunungan Bintang adalah mobil bak besar yang bagian belakangnya terbuka dan mobil yang biasa digunakan untuk para petualang adventure berpetualang di tengah hutan. Jalanan yang ditempuh berliku dan batu kerikil besar-besar dan licin. Tak sembarang sopir bisa menempuh jalan menuju kampungku. Itu sebabnya intensitas kendaraan yang naik ke desaku lumayan bisa dihitung pakai jari setiap harinya. Alhasil, tak jarang kami harus berjalan kaki untuk menuju kabupaten.

Tempat paling jauh dengan teman sepenempatanmu berapa jauh? Bagaimana cara untuk ke sana?|
Tempat terjauh di SD Inpres Pepera, harus menempuh 8 jam jalan kaki, melewati hutan, menyebrangi sungai. Yang menjadi tantangan adalah jalanan yang terus menanjak menyusuri hutan. Semenjak jembatan satu-satunya rubuh dan hingga saat ini belum juga kunjung diperbaiki satu satunya cara menuju SD tersebut adalah dengan jalan kaki. Uwow... salut banget buat temen-temen yang konsisten mengajar di sana. Keren!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline