Lihat ke Halaman Asli

Egi Trialogi

Green School Majalengka

Tali Sepatu, Itu Aku

Diperbarui: 31 Maret 2023   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tali Sepatu itu, Aku

Pagi datang dengan wajah yang menyedihkan. Bagaimana tidak, sejak shubuh tadi aku tak melihat pergelutan sinar mentari dengan kabut sisa selimut semalam. Jam yang tak pernah gagal menunjukkan waktu, telah jatuh pada pukul enam. Tapi benang-benang tipis gerimis masih berjatuhan dari mata langit membuat cahaya matahari merangkak lambat di antara awan gelap yang menggantung. Hari ini rupanya kabut pulang lebih akhir, mungkin matahari masih terlelap dalam mimpinya atau hanya sekedar malu saja bertemu denganku yang sudah berseragam rapi.

Udara di luar tidak seperti biasanya, deburan ombak dan angin hangat pesisir tak kurasakan lagi. Nyiur pun enggan untuk melambai hanya sesekali saja ia bergidik menjatuhkan embun yang bergelantungan di lengannya. Aku hanya mampu berdiri menengadah menyaksikan awan yang akan jatuh. Di seberang pandanganku kulihat sepasang camar sedang bergidik di dahan bakau yang agak menjulur ke atas. Sayapnya saling berkepak menepis gerimis yang mencoba hinggap di bulunya.

Dari arah utara kulihat sesosok laki-laki paruh baya mengenakan jas abu yang sudah mulai kumal. Jalannya agak merunduk, mungkin ia sedang mencari sesuatu atau hanya sekedar menghindari geripis tipis yang mengenai bola matanya. Sambil membelok ke kiri ia melepaskan senyumannya ke arahku. Kemudian ia berhenti pada pematang tambak yang ada jembatannya. Setelah kusaksikan dengan seksama dan berdebat sedikit dengan kabut yang enggan beranjak dari pandanganku akhirnya aku dapat mengenali orang tersebut.

Ia adalah pak Agus seorang mandor tambak di sini yang tiada lain adalah ayahku sendiri. Sudah hampir lima tahun ayah mempertaruhkan kulitnya yang legam dan dahinya yang mulai mengkerut untuk mengais rijki di tambak ini. Memang sangat besar tanggungjawabnya, ia harus mengurusi tambak ikan bandeng dan udang windu yang tak pernah ku hitung berapa jumlah kolah di tambak ini. Yang pasti aku tidak pernah sanggup membayangkan betapa lelahnya mengontrol kolam-kolam tersebut, dengan berjalan saja aku membutuhkan waktu satu jam untuk mengelilinginya.

Saat lamunanku semakin jauh, tiba-tiba terdengar sahutan dari dalam rumah. Sepertinya aku mengenali suara itu, suara yang tak asing sejak aku dapat mendengar. Iah, tiada lain dia adalah ibu yang dulu melahirkanku. Dengan perlahan tapi pasti ibu menghampiriku yang sedari tadi berdiri kaku di depan pintu. Entah sudah berapa menit yang pasti kaki ini sudah terasa berat, mungkin karena terlalu lama berdiri.

Bagaimana sudah siap jagoan ibu?

Tanya ibu sambil menghampiriku dengan senyuman tipisnya.

Sudah bu. Jawabku dengan singkat.

Tangannya sangat sibuk, yang kanan ia memegang batang payung sementara tangan kirinya meraih tas yang sudah ia siapkan sendiri di atas meja tidak jauh dari pintu. Tak lama dari itu, becak langganan kami sudah tiba di depan rumah. Ibu mengangkat payung dan tubuhku ke jok lalu ia pun menyusul. Roda becak berjalan bagaikan jarum jam yang tak henti berputar. Meskipun tak sekencang gerakan pedati, tapi kendaraan ini mampu mengantarkanku ke sekolah dan menghindari bel masuk kelas.

Jarum jam terus berputar, sementara langit tak banyak berubah. Sepanjang jalan kulihat beberapa anak sekolah lainnya berlari-lari kecil menghindari gerimis. Becak yang kunaiki kini telah memasuki gerbang. Kulihat air di atas gerbang berjalan menapaki ukiran bertuliskan SDN Kelayan IV Cirebon. Yah inilah sekolah baruku. Sudah hampir satu pekan aku menjalani hari dengan orang-orang yang sangat asing ini. Sudah kucoba untuk menikmati suasana tetapi hanyalah kebisuan yang selalu kudapatkan. Mungkin karena pada waktu itu aku kurang bergaul atau memang sejak awal karena tidak ada keyakinan untuk bertahan di tempat ini. Terlebih lagi setelah kejadian yang memalukan beberapa hari lalu, waktu itu aku terkena palak oleh salah seorang siswa. Kejadian tersebut sekaligus membuat keeberanianku bagaikan bara disiram lautan air es. Sehingga sempat terlintas dalam benakku untuk meninggalkan lingkungan yang tak bersahabat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline