Lihat ke Halaman Asli

Effendy Wongso

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Legenda Hantu Prajurit Belanda

Diperbarui: 9 Maret 2021   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi cerpen Legenda Hantu Prajurit Belanda. (pinterest.com/cchiker1970)

Maya menggeliat malas di dalam balutan sarung Bugisnya. Selembar sarung pinjaman yang sudah mendekil karena tidak pernah menyentuh air. Dikucek-kuceknya mata. Sedikit merasa asing dengan dunianya yang sekarang. Amben khas dusun terasa keras menyangga punggungnya. Tidak seperti biasa.

Kali ini mau tidak mau ia harus berbaring di sana. Merelakan kemanjaannya menguap barang sebentar di desa ini. Sebuah desa pedalaman di Sulawesi Selatan. Kurang lebih makan waktu empat jam transportasi darat dari Makassar hingga mencapai dusun yang bernama Tompo Ladang di Kabupaten Bone ini.

Ada suara gaduh di pepagian. Masih fajar sebenarnya. Tapi tentu bukan kebiasaan baru dari para pedusun. Pukul lima merupakan ritual mula aktivitas. Lewat dari jam itu lima menit pun berarti kesiangan.

"Bagaimana, Daeng betah di dusun ini?"

"Hm, lumayan. Sudah lama saya tidak kemari. Sudah banyak perubahan. Tapi, legenda tentang hantu-hantu prajurit Belanda itu masih sering dibicarakan penduduk desa."

"Oh, legenda itu memang sudah mendarah-daging di desa ini, Daeng."

Suara bariton yang dipanggil dengan 'Daeng' itu pasti bukan penghuni rumah sederhana mereka menginap sekarang. Sudah empat hari, tapi tidak ada satu pun makhluk dari kaum Adam di sini -- di sini berarti di rumah sederhana ini.

Setahunya, wanita tiga puluhan yang menampung mereka -- wanita itu merupakan ibu tiri Lingga, sahabatnya -- tidak memiliki sanak keluarga di kampung ini. Sebab ia merupakan wanita peranakan Bugis perantauan dari Kalimantan. Lalu beranak pinak dua putri hasil pernikahannya dengan ayah Lingga yang saat ini sudah berpoligami tiga istri. Wanita itu merupakan istri kedua.

Ia paham sedikit bahasa Bugis. Meski tidak menggunakannya sebagai bahasa pengantar di rumah, tapi ia mengerti dari percakapan dan dialog kedua orangtuanya yang asli Bugis Bone. 

Namun, ia sama sekali tidak bisa menulis huruf Lontara lagi. Huruf Lontara adalah huruf kuno masyarakat suku Bugis. Jarang dipakai lagi selain orang-orang tua dan sesepuh desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline