Pada artikel saya sebelumnya yang berjudul Tetap Saja Menulis Kendati Tidak Dibayar, Pertanda Apa?, seorang sahabat kita yang juga kompasianer, Mbak Ayra Amirah, menuliskan komentarnya, begini.
"Setuju Pak, Ketut. Saya pun menerangkan pada anak saya, ibu merasa lega setelah menyelesaikan satu tulisan. Menulis bukan untuk menerima uang. Kalau mau uang, kerja. Dalam sebulan pasti dapat gaji."
"Kalau menulis, lebih untuk membantu orang lain. Apa yang dulu ibu baca di perpustakaan, adalah tulisan orang lain. Bayangkan kalau ibu tidak punya bahan bacaan apa-apa. Tidak akan punya ilmu dan wawasan."
Membaca komentar itu saya jadi kaget dan ngeh. Apa yang ditulis Mbak Ayra Amirah benar adanya. Kita mungkin sudah banyak membaca buku selama ini. Entah buku itu kita pinjam dari perpustakaan, pinjam dari teman, dapat hadiah, atau dengan membeli sendiri.
Dari buku-buku itulah kita belajar berbagai ilmu pengetahuan, di samping belajar pesan-pesan berharga melalui karya imajinatif yang berupa cerita. Mulai dari cerita rakyat, cerita fabel, hingga novel klasik, dan novel terbaru.
Kita benar-benar dibuat semakin "kaya" oleh buku tersebut, ya, kian kaya akan pengetahuan yang sudah pernah kita baca sebelumnya.
Buku-buku itulah yang selalu mendampingi kita berproses dan menjalani hidup ini dengan motivasi agar bisa menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Pengalaman Bersama Buku
Sampai di sini, saya jadi teringat dengan masa yang telah terlewatkan bersama sahabat yang tak pernah rewel bernama buku. Sebuah perjalanan yang tak pernah terputus hingga sekarang.
Semasih anak-anak, saya sudah menyenangi buku bahkan sangat menyukainya. Ketika masih SD, sangat sulit bagi saya menemukan buku yang bisa dibaca kecuali sedikit buku-buku pelajaran di sekolah.