Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Kritik Antara Kritis dan Rasa Tidak Suka

Diperbarui: 26 Juni 2021   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membedakan Kritik itu Kritis dan Mengkritik karena like and dislike (sumber gambar: Kompas.com)

Apa salahnya mengkritik ? Ya tidak ada salahnya jika kritiknya proporsional, masuk dalam logika dan tidak emosional karena ada like and dislike. Masalahnya banyak yang pintar mengkritik tapi tidak pandai mengelola emosi diri sendiri. Mereka selalu melihat kesalahan dan kekurangan tetapi tidak pernah mencoba melirik dirinya sendiri.

Mereka yang kritis seringkali terlalu pede dengan analisanya, Terlalu percaya diri bahwa dirinya jauh lebih bagus dari yang dikritiknya. Ketika melihat karya orang lain, terutama public figure, misalnya selebritis atau politisi, pejabat daerah  bahkan presiden, begitu gampang melontarkan kritik. Wong gratis kok, ngapain susah melontarkan alasan mengapa ia merasa harus menganggap salah dan kurang terhadap kinerja pemimpinnya misalnya.

Sebab ia pasti akan selalu mencari celah dari hal - hal yang jarang dilakukan pemimpin itu. Pertama pasti membandingkan dengan tokoh idolanya, kedua karena ia tidak suka, ketiga karena apapun yang dikatakan orang yang dikritiknya pasti salah. Pengkritik pasti sedang berada di tempat maha sempurna yang seharusnya sesuai dengan apa yang dipikirkan.

Kalau kritis karena mempunyai pengalaman dalam menangani masalah - masalah yang relevan dengan sedang ia kritik dan mempunyai solusi efektif dalam memecahkan persoalan berarti kritikannya memang proporsional. Karena ia akan memberi solusi dan masukan yang barangkali bisa membantu dengan cara mengkritiknya.

Tapi banyak komentator, netizen, petinggi partai politik, pengamat, orang awam yang hanya memberi kritik tanpa solusi. Selalu mencibir dan beda sudut pandang tanpa pernah memberi kesempatan mendengar alasan dibalik keputusan yang bagi dia selalu kontroversial.

Terkadang saya juga sering melakukan hal serupa mengkritik dan menganggap salah kebijakan seorang tokoh karena kadung tidak suka dan benci. Terkadang karena emosional apapun keputusan dan tingkahnya akan selalu salah. Padahal mengkritik yang sesungguhnya haruslah obyektif, bukan berdasarkan rasa, berdasarkan emosi sesaat karena sedari awal memang tidak respek.

Pemikiran kritis bisa muncul dari orang yang kompeten, cerdas, detail dalam melihat masalah dan menemukan kekurangan kekurangan yang seharusnya tidak dilakukan. 

Ilustrasinya adalah ketika saya menulis, dan hasil tulisannya dibaca oleh seseorang yang kritis ia akan mengatakan bahwa misalnya susunan bahasanya masih kacau, banyak kata yang diulang, masalah typo yang mengganggu, penggunakaan diksi yang tidak pas, dan penulisan yang kurang efektif.

Orang yang mengkritisi tulisan saya bisa jadi adalah orang cermat, berpengalaman dalam hal tulis menulis, mempunyai jam terbang cukup dan menguasai ilmu atau teori menulis, selain juga praktisi. Tapi ada juga yang mengkritik tulisan saya karena tidak suka dengan sudut pandang saya tentang seseorang karena sebenarnya ia mengidolai sosok yang menjadi sorotan tulisan saya.

Kritik menjadi terasa vulgar karena ia menggunakan kata- kata kasar untuk memojokkan saya. Jadi ini persoalan like and dislike, bukan obyektifitas yang ditonjolkan. Yang saat ini sering ditemui di medsos adalah banyak orang mengkritik hanya berdasarkan emosi. Hanya melihat judul langsung berkomentar, hanya melihat teaser langsung bisa menyimpulkan.

Seharusnya melontarkan kritik harus selalu mengacu pada data, bukan sekedar beda, hanya karena tidak suka dengan seseorang lantas suka- suka mengkritik. Otak sudah kotor dahulu karena praduga - praduga emosional yang muncul dari akumulasi ketidaksukaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline