Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Zonasi Mengantisipasi Diskriminasi

Diperbarui: 13 Agustus 2018   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: @Kemdikbud_RI

Alih-alih menempati rumah pribadi di Bogor, seorang kerabat memilih tetap ngontrak di Jakarta demi mendampingi anak-anaknya belajar di sekolah-sekolah favorit di wilayah Jakarta. Kasihan anak-anak bakal kecapekan kalau tiap hari harus pulang-pergi Bogor-Jakarta, katanya. Kenapa tidak bersekolah di Bogor? Oh, no! Agaknya belajar di sekolah favorit di Jakarta adalah harga mati, apalagi karena anak-anaknya sangat berprestasi. Alhasil, setelah anak-anak lulus dari jenjang SMA, barulah mereka pindah ke Bogor.

Dengan penerapan zonasi, tidak akan ada lagi kejadian seperti pengalaman kerabat saya. Dengan sistem zonasi, anak-anak pintar tidak lagi hanya terkumpul di sekolah-sekolah "favorit". Kelak, bahkan tak ada lagi istilah sekolah favorit. Tidak akan ada lagi eksklusivitas sekolah negeri, dan tak ada lagi diskriminasi.   

Benarkah demikian? Tahukah masyarakat arah dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang cukup kontroversial hingga menuai pro-kontra ini? Dapatkah masyarakat menerimanya? Bagaimana pula Kemendikbud menjamin bahwa kebijakan zonasi ini tepat sasaran dan dapat terlaksana seperti seharusnya?   

Saya mendapat jawab atas berbagai pertanyaan di atas saat hadir dalam acara Perspektif Kompasiana bertajuk "Optimisme Menguatkan Pendidikan dan Memajukan Kebudayaan" pada Senin (6/8/2018) yang lalu. Terkait topik sistem zonasi, Mendikbud Prof. Dr. Muhadjir Effendy diwakili Dr. Ir. Ari Santoso, DEA, kembali menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan sekadar upaya pemerataan akses layanan pendidikan, melainkan juga pemerataan kualitas pendidikan. 

Ari Santoso, selaku Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, menjelaskan secara gamblang arah kebijakan, imbauan pelaksanaan, dan tindak lanjut pelaksanaan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tersebut.

Dr. Ir. Ari Santoso, DEA, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud (Dok. pri.)

Hal penting yang perlu dipahami dengan baik oleh masyarakat-termasuk Kompasianer-adalah arah kebijakan zonasi. Tanpa mengetahui rincian arah kebijakan, wajar bila sebagian masyarakat menentang karena menganggap zonasi sebagai kebijakan merugikan. Sebaliknya, sebagian lain yang merasa diuntungkan sontak saja menyatakan pro. Suatu hal biasa terjadi pro-kontra, tetapi pertama-tama mengetahui suatu kebijakan dengan detail haruslah menjadi dasar pijakan. Dengan bantuan slide "Pemerataan Pendidikan Melalui Zonasi" Ari Santoso, memaparkan rincian arah kebijakan zonasi sebagaimana saya catat berikut ini.
  • Menjamin pemerataan akses pendidikan;
  • Mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen;
  • Mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik;
  • Menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri;
  • Membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru;
  • Meningkatkan akses layanan pendidikan pada kelompok rentan;
  • Meningkatkan keragaman peserta didik di suatu sekolah;
  • Membantu pemerintah dalam memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran;
  • Mendorong Pemerintah Daerah dalam pemerataan kualitas pendidikan;
  • Mencegah penumpukan SDM berkualitas dalam suatu wilayah.

Bila sejenak menengok ke belakang kita akan tahu bahwa PPDB Zonasi yang diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 ini sebenarnya bukan hal baru. Kemendikbud menyebut sebagai bentuk penyesuaian sistem rayonisasi. Perbedaannya, 'rayonisasi' berpijak pada prestasi akademik siswa, sedangkan 'zonasi' berpijak pada jarak rumah siswa dengan sekolah. 

Pada prinsipnya, peserta didik yang berhak atas layanan pendidikan di suatu wilayah adalah mereka yang rumahnya lebih dekat dengan layanan tersebut-meskipun prestasinya kurang. Jadi, kalau dahulu siswa berprestasi dari Bogor dapat diterima di sekolah 'unggulan' di Jakarta, sekarang kesempatannya hanya 5% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima di sekolah bersangkutan. Aturan persentase tersebut diatur dalam Pasal 16 Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang ringkasannya dapat dilihat dalam infografik berikut. 

Sumber infografik: @Kemdikbud_RI

Sekilas aturan tersebut tampak merugikan para siswa berprestasi karena tidak bisa lagi masuk ke 'sekolah favorit' mana pun yang diinginkan jika jarak sekolah tersebut tidak memenuhi prasyarat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat, terutama orang tua peserta didik. Sebaliknya, sekolah yang selama ini memiliki brand 'favorit/unggulan' pun tidak bisa lagi semaunya hanya menerima siswa-siswa pandai demi menjaga branding.

Namun, Kemendikbud menyosialisaikan bahwa sebenarnya banyak hal positif yang akan lahir sebagai dampak dari aturan zonasi ini. Berbagai dampak positif itulah yang dirinci dalam "Arah Kebijakan Zonasi". Kemendikbud menyebutnya ekosistem pendidikan. Dari penjelasan yang diberikan saya mereka-reka ilustrasi sebagai berikut.

Jarak layanan pendidikan yang dekat dengan rumah, memungkinkan siswa menjangkau sekolahnya dengan lebih mudah. Alih-alih menempuh perjalanan jauh dan melelahkan serta harus mengalami kemacetan lalu lintas, siswa cukup berkendara sebentar atau bahkan hanya perlu berjalan kaki. Hemat energi, hemat biaya! Waktu peserta didik tidak habis di jalan; dan akan banyak penyeimbang kegiatan belajar dapat dilakukan, seperti bermain bersama teman-teman di lingkungan rumah, melakukan hobi positif, dan lain-lain.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline