Lihat ke Halaman Asli

A. Fatimah Hardianti

All that matters

Diskursus yang Dimatikan PNUP

Diperbarui: 1 Oktober 2019   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diskursus adalah bagian kehidupan pendidikan, terutama pada perguruan tinggi. Bukan hanya antar mahasiswa, tapi juga keseluruhan civitas akademika. Petugas keamanan aka Satpam pun seharusnya turut andil di dalamnya. Tapi ini bukan soal petugas keamanan, seperti biasa ini soal mahasiswa dan birokrasi kampus.

Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) adalah perguruan tinggi vokasi yang dalam programnya ingin mencetak para mahasiswa menjadi wirausaha. Kedengaran sangat mengobjektivikasi manusia muda yang memiliki fungsi dan peran. Entah wirausaha yang dimaksud itu adalah kemandirian, ataukah benar-benar menjadi pedagang, yang jelasnya seorang pedagang sekalipun berdialog dengan pembelinya. Tapi kampus ini tidak permisif pada dialektika.

Beberapa tahun silam lembaga pers dibatasi geraknya. Lantaran tidak bersedia lagi menyerahkan draft berita pada birokrasi. Kunci sekretariat disita dan satu tahun lebih kegiatan jurnalistik hilang. Yah itu berita atau tugas besar, kok asistensi?.

Sebuah biro yang menjadi bagian dari  Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) PNUP ditolak eksistensinya dan berulang kali bersikeras untuk dibubarkan. Alasannya tak ada kegiatan minat bakat selain di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Himpunan hanya mengambil bagian pada penalaran. Pertanyaannya apa itu penalaran?. Apakah  kegiatan mendaki gunung, memanjat tebing dan menyusuri gua tidak membutuhkan nalar?

Jawaban mereka "ini aturan kampus". Tanpa melihat realitas bahwa setiap himpunan secara mandiri mampu memenuhi minat dan bakat anggotanya, seperti seni dan olahraga, birokrasi malah mengeksklusifkan UKM yang tidak mampu memenuhi seluruh minat dan bakat mahasiswa. Tapi tunggu, sepertinya birokrasi hanya menyasar pada kegiatan pencinta alam. Kok diskriminatif?

Jika untuk organ internal kampus birokrasi tidak membuka ruang diskusi, terlebih lagi pada organ eksternal. Jangankan audiensi, beraktifitas saja di sentimen. Setiap diskusi dan lapakan buku ditanya dulu "Apa ini?".  Selanjutnya jika tidak ada perintah, Alhamdulillah. Sebaliknya jika perintah datang, siap-siap untuk menggulung tikar dan mendapat pesan cinta. Macam Satpol PP saja, razia-razia. Tapi tunggu dulu, giliran sosialisasi kampus, mereka menyambut teman-teman Organisasi Daerah (Organda). Padahal kemarin ingin pinjam aula tidak boleh. 

Birokrasi mungkin lupa menjadikan Sistem Perguruan Tinggi (SPT) sebagai acuan dalam aturan kampus. BAB V SPT tentang kegiatan dan organisasi kemahasiswaan di lingkup pendidikan tinggi mengakui eksistensi organ ekstra. Bahkan secara eksplisit menyebut satu organisasi yang sering dilarang-larang. Mungkin juga belum update tentang instruksi Menristikdikti dalam pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Penjaga Ideologi Bangsa (UKM-PIB) yang terdiri dari organisasi cipayung plus. 

Dalam aturan kampus, secara tertulis kita bisa membaca organisasi eksternal sebagai bagiannya. Tapi sampai pada mahasiswa menyodorkan SK Kepengurusan atau Kepanitiaan, atau sertifikat organ ekstra, mereka bilang "Hanya dua organ ekstra yang diakui kampus". Ternyata mereka membuat definisi baru yang lucu, menjadikan organisasi eksternal lainnya sebagai ekstra eksternal. Selanjutnya pertanyaan "Kenapa?" yang seharusnya dibalas dengan alasan, malah mendapat jawaban "Pokoknya itu aturan kampus", mungkin saja ditambahkan "sudah sana saya sibuk".

Sangat disayangkan ketika mahasiswa berprestasi yang diakui perguruan tinggi lain, malah diabaikan oleh kampus sendiri. Betapa ruginya kampus, jika mahasiswa merasa tidak dihargai. 

Sematan "siap kerja" pada alumni PNUP seharusnya dijadikan tanggung jawab oleh Birokrasi untuk menciptakan lingkungan dialektis. Sebab membungkam pendapat dapat mematikan daya kritis, dan itu bisa menimbulkan relasi kuasa yang timpang. Masa alumni jadi budak korporat, sekalinya jadi bos, eh otoriter. Belum lagi ditambah dosen yang tidak bisa diajak diskusi. Pertanyaan biasa pun dibalas dengan amarah, untung kalau tidak diusir.

Segala kutipan diatas based on the true story. Didasari sebuah upaya untuk menghidupkan diskursus yang dimatikan birokrasi. Jika suara tidak dengar, semoga tulisan dapat dibaca. Kalau mereka masih saja sama, yah menulis lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline