Lihat ke Halaman Asli

Dinar Mutia

Makan nasi lebih baik daripada makan teman

Covid-19 dan Global Warming

Diperbarui: 8 Januari 2021   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wabah corona memang sudah mendunia. Dalam beberapa media massa, disebutkan bahwa covid (corona virus disease) sudah berkeliling dunia ke 202 negara di seluruh dunia dengan jumlah korban mencapai 722.088 jiwa pada hari Senin kemarin (30/3/2020) pukul 10.00 WIB. Tercatat 33.796 korban meninggal dunia sementara pasien yang telah dinyatakan sembuh mencapai 151.766 jiwa.

Kasus tertinggi ada di negara Paman Sam hingga mencapai 142.070 kasus dengan korban jiwa mencapai 2.484 jiwa. Negara Tirai Bambu sendiri sebagai sumber penularan wabah mencatatkan jumlah pasien sebanyak 81.470 jiwa. Negara Italia yang semula menganggap remeh covid-19 telah mengkonfirmasikan sebanyak 97.689 kasus di negaranya.

Ada yang unik dari kasus covid-19 yang mewabah di seputar bumi ini. Terlihat dari foto satelit bahwa polusi udara menurun drastis di berbagai negara besar di seluruh dunia. DKI Jakarta sebagai ibukota negara kita terlihat jauh sekali perbedaan polusi udara yang terjadi. 

Jalanan lengang dari kendaraan bermotor, perokok aktif yang biasa memenuhi tempat-tempat keramaian dan jalanan berkurang jauh sekali jumlahnya. Sejumlah kota besar di Indonesia dan luar negeri juga terlihat jauh lebih sepi dari kendaraan bermotor dan kerumunan orang.

Ada beberapa pola pikir masyarakat Jawa yang sangat menarik untuk dipikirkan. Misalnya saja tentang kesetimbangan hidup dan keselarasan. Menurut salah satu buku Yohannes Surya, Mestakung, bila ada suatu gangguan dalam suatu sistem, maka seluruh bagian sistem akan berusaha menjaga keseimbangan tersebut. 

Sebagai contoh, misalkan saja kita memberikan gaya tarik yang dapat meregangkan suatu pegas, maka akan ada gaya pemulih yang akan berusaha membuat pegas kembali ke kedudukan setimbangnya lagi. Begitu juga bumi ini. 

Bila kesetimbangan alam diganggu, maka akan ada gaya lain yang berusaha menjaga kesetimbangan alam di atas muka bumi ini. Menurut orangtua saya yang berada di Gunungkidul, kesetimbangan yang diganggu akan memaksakan diri mencapai kesetimbangan itu kembali.

Di beberapa tempat, penulis seringkali memperhatikan banyaknya pohon-pohon besar yang ditebang dengan berbagai alasan padahal untuk tumbuh sebesar itu dibutuhkan waktu puluhan tahun dan sebuah pohon besar sanggup menyediakan kebutuhan oksigen untuk dua manusia dewasa. 

Pernahkah manusia yang menumpang hidup di atas permukaan bumi berusaha menghitung perbandingan jumlah pohon dengan manusia kota? Saat mencari tempat parkir motornya atau sekedar beristirahat, manusia yang menebang pohon sekalipun juga akan berusaha mencari tempat sejuk di bawah pohon rindang. 

Lalu kalau memang pohon dianggap menyenangkan, kenapa dipaksa harus ditebang banyak-banyak? Kita membutuhkan, tapi kita tebang? Aneh kan? Padahal kalau masalah pembangunan, bisa saja kita pikirkan yang berwawasan lingkungan sehingga tidak mengorbankan banyak pohon besar.

Orangtua penulis juga bercerita tentang bumi yang sudah lelah karena tua dan menanggung beban aktifitas manusia yang terlalu banyak mengejar dunia dan sedikit saja yang memperbanyak mengingat hari kebangkitan setelah kematiannya nanti. Sehingga masa depan bagi kebanyakan orang adalah masa tua manusianya, bukan kehidupan selanjutnya setelah kehidupan di alam dunia ini. Alam tempat kita dimintai pertanggungjawaban atas segala hal kerusakan yang telah kita lakukan di atas permukaan bumi yang cuma titipan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline