Lihat ke Halaman Asli

Dianna FitriaNovita

Universitas Airlangga

Tinggal Kenangan

Diperbarui: 30 April 2024   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 2010-2011 adalah waktu dimana aku dipertemukan dengan Pradana. Dalam sekejap kita bisa menjadi dekat dan akrab satu sama lain. Bukan hanya teman sekelas maupun sahabat, kita masih memiliki hubungan kerabat. 

Kita bukan orang yang saat bertemu suka memuji satu sama lain. Justru kita lebih sering membuat onar yang menjengkelkan satu sama lain. Namun, adakalanya kita berdamai dengan cara ramai di kelas.

Guru pengajar di kelas pun bingung dengan tingkah kita. Saat tidak bertengkar kita malah ramai di kelas. Sedangkan saat bertengkar akan saling menyalahkan dan mencari pembelaan dari guru. Itulah yang aku dan Pradana lakukan saat duduk di bangku kelas 2 SD.

Saat aku tidak masuk sekolah dia mencariku. Namun, saat aku masuk sekolah dia berpura-pura senang ketika aku tidak masuk sekolah. Begitupun dengan aku yang melakukan hal sama ketika Pradana tidak masuk sekolah. Kita berdua adalah seseorang yang cukup gengsi mengatakan kebenaran bahwa ketidakhadiran satu sama lain di kelas membuat perasaan kangen muncul.

Aku dan Pradana adalah manusia yang takut jarum suntik. Terlebih Pradana, dia sangat histeris saat harus divaksin. Bahkan, ibunya turun tangan untuk menggendongnya agar tidak melarikan diri. Aku sering mengejeknya dengan mengingatkan kembali kenangan saat vaksinasi di kelas yang memalukan baginya. Dia selalu kesal dan marah jika aku melakukan hal itu. Dia juga akan berusaha keras mengalihkan topik perbincangan kami.

Aku masih ingat dia pernah berkata bahwa dia membenciku karena aku pintar. Dia mengatakan aku tidak perlu belajar rajin dan menjadi yang terbaik. Dia biasanya berusaha mengalihkan perhatianku dengan mengajakku terus berbicara dengannya membahas berbagai topik.

Dengan begitu, aku akan mengesampingkan tugasku. Namun, saat aku berhasil tetap mengerjakan tugas di sela-sela perbincangan kami dan hendak mengumpulkannya dia menghentikan ku. Dia meminjam pekerjaanku untuk dia salin karena dia belum mengerjakan tugas itu. Kemudian dia berkata supaya aku menjadi anak yang rajin dan pintar supaya saat dia merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas bisa meminta bantuanku.

Aku tidak keberatan meminjamkan pekerjaanku untuk dia salin jawabannya. Dia adalah orang pertama yang melihat wajah sedih, kecewa, terguncangku saat hari libur di tempat warung makan. Aku sulit menghentikan air mataku yang terus berlinang membasahi wajahku. Aku bersyukur dia tidak pernah bertanya apa yang telah terjadi kepadaku.

Selama kita mengenal dia tidak pernah membuatku sedih dan menangis. Dia lebih sering membuatku merasa kesal, marah, terhibur, tertawa. Dia adalah alasanku suka melihat ke belakang. Sebab dia duduk di bangku belakangku. Pernah aku merencanakan dan berharap setelah lulus SD kita bisa satu sekolah lagi.

Pradana adalah alasanku semangat berangkat bersekolah. Aku selalu penasaran dengan apa yang akan kita bahas besok di sekolah saat bertemu. Apakah besok kita akan tertawa, marah, kesal?

Tidak terduga, ternyata Pradana sering tidak masuk sekolah. Awalnya aku hanya tahu jika dia sedang sakit.  Aku berharap beberapa hari kemudian dia segera sembuh dan bisa masuk sekolah lagi. Sempat masuk sekolah lagi, aku pun senang bisa melihatnya di kelas lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline