Lihat ke Halaman Asli

Rusakata

Pencatat Ide-Ide

Kreativitas adalah Hak Segala Bangsa

Diperbarui: 29 Agustus 2019   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya lahir di sebuah desa nanggung di Tasikmalaya -- saya sebut nanggung karena memang masih kampung tapi terletak di pinggir jalan nasional-- namanya Desa Margalaksana, kecamatan Salawu. Begitu masuk waktu magrib, angkutan umum tiba-tiba hilang tapi kalau saat-saat Lebaran jalan depan rumah suka tiba-tiba macet tapi gak ada yang tau kenapa, pokoknya seru, menghibur dan rame kayak di kota. Kampung yang aneh, nanggung...

Bapak saya seorang guru SMP dan almarhum Ibu saya bekerja sebagai boss Bapak di rumah. Mereka orang-orang sederhana yang selalu mengajari saya untuk berjuang dan lalu ikhlas.

Saya tinggal di rumah orang tua sampai lulus SMP, dari sejak SD Ibu selalu "ngeracunin" saya dengan ide bahwa nanti saya SMA harus di Bandung. Saya gak ngerti kenapa, yang jelas sejak kelas 6 SD saya diwajibkan cuci baju sendiri, cuci piring dan diajarin masak makanan sendiri -- katanya biar gak ngerepotin kalau saya nanti sekolah di Bandung dan nebeng di rumah oom-oom saya. Begitu lulus SMP saya langsung dititipin Oom saya untuk daftar sekolah, waktu itu saya daftar ke STM Negeri Kimia Bandung dengan program studi Kimia Tekstil.

Lulus STM Negeri Kimia tahun 1998 saya lalu ikut Ujian Masuk Fakultas Seni Rupa ITB -- gagal total, padahal sudah ikut bimbingan menggambar di daerah Dago. Waktu itu Bapak memberi saya dua pilihan; kalau mau kuliah saya harus ambil gap year (well, that was not exactly my dad words -- pada intinya beliau nyuruh saya nganggur setahun buat nyoba lagi test masuk PTN tahun depan), atau kalau mau kerja ya gak perlu berharap bisa kuliah (kata Bapak kalau udah tau duit pasti jadi males belajar). Karena penasaran dan belum siap mental untuk bekerja di pabrik tekstil, waktu itu saya pilih pilihan pertama dengan konsekwensi muka saya jadi jerawatan karena hampir tiap malam begadang di studio musik milik teman. Agustus 1999 akhirnya saya diterima di Fakultas Seni Rupa dan Design ITB, dengan major Studio Kriya Tekstil.

Kenapa sih saya cerita perjalanan pendidikan saya? Karena sampai beberapa minggu lalu saya tidak pernah mengerti kenapa saya ambil keputusan-keputusan penting tersebut. 

Saya tidak pernah bisa menjawab dengan yakin kenapa saya tiba-tiba sekolah Kimia Tekstil lalu masuk Seni Rupa? Bahkan setelah masuk dunia professional, dari bekerja di advertising agency lalu tiba-tiba pindah ke perusahaan asuransi, terus pindah ke perusahaan media... tadinya saya cuma mikir "I just follow my heart" atau Bahasa anak muda sekarang "I just follow my passion"

Lalu apa yang terjadi beberapa minggu lalu? Hanya sebuah workshop leadership sederhana yang diinisiasi oleh kantor saya, namanya "Purpose Finder Workshop". Sebuah sesi belajar sederhana yang memberi pengaruh besar karena mampu memberikan perspektif baru yang menyenangkan buat saya, perspektif tentang pertanyaan esensial dalam hidup yaitu "kenapa saya melakukan apa yang saya lakukan?".

Salah satu temuan penting dari workshop tersebut adalah ternyata memory yang paling menyenangkan dan paling diingat dari masa kecil saya 30 tahun lalu adalah setiap kali saya diajak mancing di sungai Ciwulan oleh Kakek saya. Saya ingat perjalanan dari rumah ke Sungai Ciwulan itu memakan waktu satu jam lebih berjalan melewati bentangan sawah, lembah hutan bambu dan perkampungan lalu dengan sabar kami menyusuri sungai besar berbatu vulkanik dan berair keruh -- sebuah petualangan! 

Selama petualangan tersebut Kakek saya tidak pernah berhenti bercerita tentang masa-masa beliau sekolah di jaman Jepang dan ketika beliau bertugas sebagai Polisi Pamong Praja yang harus ikut Operasi Pagar Betis untuk memberantas gerombolan DI/TII di Tasikmalaya...seru! Bayangan cerita-cerita Kakek itu begitu hidup dalam imajinasi saya -- sampai sekarang saya masih bisa membayangkan cerita lucu Kakek ketika berhasil melumpuhkan anggota Di/TII ketika dia sedang makan Kupat Tahu di warung pinggir jalan. Cerita yang seharusnya horror tetapi Kakek saya berhasil mengubahnya jadi cerita lucu.

Tanpa disadari, saya ternyata terobesi dengan cerita, tanpa disadari semua keputusan penting dalam hidup saya diambil atas alasan bawah sadar bahwa saya harus hidup untuk membuat cerita-cerita hebat untuk saya ceritakan kelak ke anak cucu saya. "Cerita hebat", tampak begitu ambisius sekaligus menyenangkan. Sebuah perspektif hidup yang semua orang seharusnya bisa lakukan karena cerita hebat tidak melulu tentang pencapaian finansial atau pencapaian posisi sosial -- ini adalah tentang cerita-cerita menyenangkan dan inspiratif.

Lalu muncul pertanyaan dalam kepala saya; "apa ya yang dibutuhkan untuk membuat cerita-cerita hebat tersebut?". Menurut saya, setelah berkontemplasi lumayan panjang dengan menganalisis keputusan-keputusan yang pernah saya buat, untuk membuat cerita hebat selalu dibutuhkan satu resep utama yaitu unsur kebaruan atau "novelty"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline