Lihat ke Halaman Asli

I Dewa Nyoman Sarjana

profesi guru dan juga penulis.

Arini

Diperbarui: 26 Februari 2024   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

ARINI
DN Sarjana

"Bukankah dulu kita mengakhiri dengan cara baik-baik? Apalagi yang kau harap dariku?" Suara Arini terdengar lirih. Ia sebenarnya merasa bosan hampir tiap hari menjawab chat yang dilakukan oleh Anggito.

"Arini. Buat terakhir kali. Aku memohon pengertianmu. Andai kamu jadi aku saat itu, keputusanmu pasti tak jauh beda denganku. Bukankah pertengkaran itu akan lebih menyakitkan?"

Arini memotong ucapan Anggito. "Anggi. Cara kamu mengaburkan alibi seperti kanak-kanak. Yaah, tak mungkinlah aku menjadi kamu. Aku tetap perempuan yang dipersalahkan Anggito. Tetap menjadi sosok yang lemah," jawab Arini sambil menahan emosinya.

Arini membiarkan Anggi nyerocos bersuara di hp. Ia berharap dengan cara itu bisa menangkap seperti apa kerinduan yang menyelimuti diri Anggito.

"Anggi. Daripada kamu mengorbankan keluargamu, biarkan aku sendiri. Tak usah meragukan diriku. Aku sudah dewasa. Andai kita memang berjodoh, jalan menuju itu pasti kan terbuka. Selamat malam Anggi."

Arini menutup pembicaraan itu. Walau terdengar di hp Anggito memohon beberapa saat lagi. Sesaat ia mendekap hp di dadanya.

Bagi Arini, menjauhi Anggito adalah pilihan yang menyakitkan. Tapi itu pilihan terbaik. Arini tak mau itu akan menjadi selimut kelam bagi jalan hidupnya.

Arini membuka lembar-lembar kenangan ketika ia masih bersama Anggito.
Arini menatap jauh. Dalam hatinya ia berkata "Biarkan aku menyayangimu dari kejauhan Anggi." Dan air mata tak mampu ia hentikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline