Lihat ke Halaman Asli

Detha Arya Tifada

TERVERIFIKASI

Content Writer

Hindari Macet Itu Butuh Siasat, Bukan Solusi!

Diperbarui: 12 November 2017   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

salah satu nebenger yang menikmati berkah ride sharing/ dethazyo

Membahas masalah kemacetan di DKI Jakarta itu seperti membahas sebuah rahasia publik yang sedang naik daun. Nyaman di perbincangkan, namun urung menemukan apa inti dari obrolan.

Sekitar tahun 1960-an, disitulah awal cerita dari kemacetan yang hingga kini masih memusingkan banyak kepala. Sesuai dengan yang dilansir oleh CNN Indonesia, kemacetan jakarta bukanlah hal baru, karena awal mula topik kemacetan muncul sebagai sebuah berita yang dimuat pada Harian Kompas yang terbit pada 5 juli 1965, dengan memuat lead. "Seorang rekan wartawan tinggal di Senayan, Kebayoran. Orangnya gesit tak suka 'menyeleweng' di jalan. Setiap pagi berangkat dari rumah dengan mobil jam 7.15 sampai di kantornya, Pintu Besar Selatan, jam 08.00. Berarti 45 menit. Jarak Senayan-Pintu Besar Selatan 12 kilometer. Jadi gerak mobil itu per jamnya hanya 16 kilometer, sama dengan kecepatan sepeda."

Meski ditulis dengan gaya khas penulisan dengan memuat ejaan lama. Dalam berita tersebut, sedikitnya telah memberi pengetahuan kepada sanak saudara kita yang sehari-hari hingga hari ini selalu mengeluh akan kemacetan ibu kota dengan umpatan 'jakarta-jakarta, siang malam kok macet mulu.' Lewat sana macet, lewat sini macet, dimana-mana macet.' Malas keluar ah! Macet.'

Saya rasa orang-orang diatas, telah hilang akal ataupun pura-pura tak tahu bahwa kemacetan sudah sedari dulu mengerogoti Ibu Kota yang dulunya dikenal dengan nama Batavia. Uniknya, semua orang paham dan mengerti kala berkomentar 'apa solusi agar Jakarta tak macet?.' Macam-macam jawaban mulai dari  Pajak kendaraan harus ditinggikan, menggalakkan transportasi massa (busway, comuter line, MRT dan lainnya) dengan menambah armada serta lajurnya, menertibkan parkir liar, hingga terheboh dan menjadi jawaban dari salah seorang teman yang sudah bosan dengan kata 'macet' yaitu meningkatkan iman dan taqwa saja. hehehehe... (cukup frustasi, bukan?)

Itu baru dilibatkan untuk mengungkap solusi macet, bahkan saat ditanya 'apa penyebab macet yang telah menggurita lama di Jakarta?, jawaban yang keluar dari mulut orang-orang cukup beragam. Ada yang menganggap macet disebabkan pertambahan penduduk yang mendorong pertumbuhan kendaraan pribadi, Ada pun yang menganggap karena harga motor dan mobil terlalu murah, jadi siapa saja bisa memiliki motor dan mobil dengan mudah (semisal mau kredit motor, ada duit Rp. 200.000 saja, hal itu sudah bisa menelurkan tanda jadi), Ada juga yang menyalah pemangku kebijakkan sebagai biang keladi dari macet, bahkan hingga ada jawaban yang tak habis pikir, yaitu menganggap pejalan kaki sebagai pelopor dari macetnya Ibu Kota.

Lalu pertanyaannya? Apakah ada solusi untuk meredam kemacetan di Ibu Kota. Berdasarkan hasil analisis dan asumsi pribadi tentu tidak. Karena kita dapat berkaca dari zaman 'old'kala Gubernurnya Ali Sadikin hingga zaman 'now'Anies Baswedan, permasalah macet selalu menjadi suatu masalah yang tak terselesaikan. Dan hal itu tidak terbantahkan. Melalui hal tersebut kita bisa belajar, jikalau masalah macet Gubernur saja harus putar otak, apalagi masyarakatnya.

Namun, disini saya tak menawarkan sebuah solusi kepada Anda dalam melawan macet, terlebih memberikan Anda beberapa siasat yang bisa dilakukan guna menghindari hal yang namanya macet. Kenapa saya menyebutnya siasat? Begini, kala merujuk pada Kamus Bebas Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata siasat ialah taktik, tindakan, kebijakan, akal yang digunakan untuk mencapai suatu maksud. Dan disini maksud tersebut menghindari macet. Berbeda kalau menyebutnya dengan kata solusi, dalam artian penyelesaian, pemecahan, jalan keluar, yang jelas-jelas hingga saat ini belum begitu menampak hasil. Untuk itu, inilah beberapa siasat yang bisa Anda gunakan dan terhitung efektif dalam melawan kemacetan ibu kota yang begitu menakutkan. Cekidot, ges!    

1. Pilih kantor yang jalurnya berlawanan dengan arah Kemacetan

Siasat pertama yang menjadi awalan disini ialah memilih kantor dengan arah yang berlawanan dengan titik kemacetan. Semisal Anda berdomisili di Mampang Prapatan, Jaksel, Anda dapat memilih daerah kantor yang berada di lenteng agung hingga pasar minggu. Kenapa? Saat jalanan yang biasanya di dominasi oleh masyarakat Bogor dan Depok bertujuan ke arah Blok M, Sudirman hingga Thamrin, Anda bisa melenggang bebas menuju kantor seperti yang disebutkan diatas, bahkan saat Anda memiliki kantor di daerah Depok dan Bogor pun, jalanan super sepi bisa Anda dapatkan. Kalau ada yang masih nyinyir 'kok sombong ya pilih-pilih kerjaan, padahal ketersediaan lowongan Cuma sedikit?' saya Cuma dapat menjawab, berarti main Anda yang kurang jauh.

2. Negosiasi Jam kerja

Siasat kedua ini akan ampuh kala Anda pribadi, berstatus karyawan di perusahaan kreatif dan sudah merasa menjadi pegawai dengan dedikasi tinggi plus telah menyabet penghargaan sebagai pegawai terbaik. Betapa tidak, saat kondisi seperti itu, carilah waktu yang tepat untuk berdiskusi masalah jam kerja agar Anda dapat mensiati macet yang berlangsung pada jam 7-9 pagi. Strategi ini pun bukan pepasan kosong belaka, karena telah diadopsi oleh kantor-kantor dengan fokus bidang kreatif. Mereka menanamkan format 8 jam kerja. Dalam artian kapan pun Anda datang, hitunglah dengan bijak tiap jam Anda masuk. Bahkan, saat Anda ada kendala hingga tak masuk, pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Benar-benar, beruntungkan lahir sebagai anak-anak pengabdi kekinian? hehehehe..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline