Lihat ke Halaman Asli

DW

Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Semua Sudah Diatur, Tidak Ada yang Kebetulan

Diperbarui: 8 November 2018   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

contractingbusiness.com

Sejatinya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi di alam ini atas izin dan kehendak Allah. 

Tidak ada daun yang jatuh, atau pasir yang bergeser di lautan tanpa izin Allah. Semuanya ada dan dalam genggaman Allah.

Sebuah kalimat yang terpampang dilaman status media sosial seorang kerabat. Lama kalimat ini ku tatap dan ku resapi, meski bukan kalimat yang baru aku ketahui, tetapi kalimat ini seolah memberikan "aliran listrik" yang kuat yang masuk ke dalam sanubari hati. Perasaan ini tiba-tiba menjadi tidak menentu, pikiran berlari-lari menyisir satu demi satu huruf dan kata yang tertulis, seraya memanggil kembali memori ketika menyaksikan sakaratul maut Ibunda waktu itu.

Mungkin, aku adalah mahluk yang paling berdosa dihadapan Allah. Betapa tidak, ketika sakaratul maut itu datang, aku berteriak seraya meminta Allah tidak memanggil Ibu. Kenangan disaat itu menguat, terefleksi menjadi gambaran diri ketika menatap tajam ke plafon rumah sakit sambil memohon dengan isak tangis supaya jangan diambil Ibunda ku ini.. Dalam hati aku marah, aku berontak, aku menolak takdir ini. 

Aku merasa saat itu Allah tidak mendengarkan, Allah sedang menghukum ku..

Dan ketika hembusan nafas terakhir Ibu lepas, pandangan ini menjadi gelap. Aku meronta, meminta agar malaikat mengembalikan ruh Ibu. Aku marah ke dokter, marah ke suster, marah kesemua orang. Keluarga dan saudara berusaha menenangkan ku, mereka meminta aku istighfar, mereka meminta aku mengingat kebesaran Allah dan menerima keputusan ini sebagai jalan terbaik bagi ibu..

Aku marah !! Aku marah karena aku gagal ! Aku gagal sebagai anak ! Aku tidak mampu memberikan pengobatan terbaik bagi Ibu. Aku gagal !!!

Bahkan aku meninggalkan kesan yang buruk sebelum Ibu koma. Saat itu, ditengah situasi yang resah dan bingung saat menemani Ibu di rumah sakit malam ke 5, Ibu tidak berhenti meminta duduk, tidur, duduk, tidur setiap menit sepanjang malam.. Ibu tidak bisa tidur, ibu selalu minta dikipasi, ibu minta digosok kakinya.. 

Dan setiap kali ibu minta duduk, aku harus menarik dan memeluk badannya yang semakin berat karena cairan diperut tidak bisa keluar. Raut wajah ini menjadi kecut, ucapan pun menjadi seenaknya seolah meminta Ibu memahami kondisi ku yang sudah 2 hari tidak tidur. Rasa lelah membutakan mata, rasa cape membuat aku mudah emosi. Aku lupa jika aku diposisi Ibu waktu itu, bisa saja aku lebih rewel lagi.

Aku gagal meninggalkan kenangan yang indah bagi Ibu, bahkan sebelum Ibu pergi. Yang Ibu ingat aku marah. Ketika keponakan ku datang untuk besuk, kalimat itulah yang Ibu sampaikan ke dia. "Bawa omah pulang rah, Om disini marah-marah terus"

Perasaan marah, bersalah, sedih dan tidak tahu harus apa, sampai hari ini tidak bisa hilang. Bayangan akan kebodohan diri dan penyesalah karena tidak segera membawa Ibu ke RS lain pun sering muncul. Aku belum bisa sepenuhnya menerima situasi ini.. Aku berharap waktu bisa diulang, akan ku perbaiki kondisi ini.. rasa tidak terima semakin berat menggantung dipikiran..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline