Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Tipisnya Jarak Antara Menebus Dosa dengan Bermuka Tebal

Diperbarui: 27 Februari 2019   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Monitor.co.id

Sudah merupakan agenda besar yang dinantikan oleh publik Indonesia saat ini, yaitu, ketika akan menjalani masa praktik demokrasi di tahun 2019 ini. Masyarakat Indonesia tidak hanya dihadapkan pada agenda pemilihan pasangan calon presiden-wakil presiden (paslon capres-cawapres). Namun juga terdapat pemilihan partai dan anggota legislatif. Baik itu tingkat DPR, DPRD, maupun DPD.

Bahkan, di daerah-daerah ditemukan lebih banyak spanduk atau banner yang mempromosikan caleg daripada pasangan calon presiden-wakil presiden. Unik, namun ini memang perlu dilakukan.

Karena, jika ditelisik lebih lanjut dan secara jujur, bahwa publik lebih mengenal calon DPR RI dan (apalagi) paslon capres-wapresnya dibandingkan calon DPRD ataupun DPD di masing-masing daerahnya.

Sehingga, sangat perlu adanya upaya pengenalan yang cukup masif, agar masyarakat daerah juga tak hanya mengenali sosok-sosok calon pemimpin negara, namun juga sosok-sosok calon wakil rakyatnya di kursi parlemen.

Namun, bagaimana dengan fenomena eks-koruptor nyaleg?

Apalagi ketika diikuti berita terbarunya lebih lanjut, rupanya, KPU tetap meloloskan caleg eks-koruptor dan mereka tidak diberikan tanda apapun sebagai orang yang pernah terindikasi kasus korupsi. Hal ini menjadi sangat mengecewakan, apalagi jika kita pernah mengikuti program tv Mata Najwa yang membahas tentang bagaimana caranya supaya caleg eks-koruptor dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Dari berbagai ide yang muncul termasuk dengan upaya memberikan tanda di lembar kertas pemilihan bahwa nantinya caleg yang merupakan eks-koruptor akan diberikan tanda khusus.

Hal ini sudah dibahas di Mata Najwa pada saat itu. Namun, ketika waktu sudah berlalu, kini kita bisa melihat bahwa KPU lebih mengedepankan sisi humanis dan diplomatisnya terhadap para caleg. Sehingga, yang terjadi adalah persamaan perlakuan antara caleg yang bersih dari tindak pidana korupsi dengan caleg yang sudah tersenggol kasus korupsi.

Lalu, bagaimana langkah publik/masyarakat menghadapi hal ini?

Pertama, kita tidak bisa menyalahkan ketidakberhasilan program tayangan Mata Najwa yang dikenal selalu mengangkat segala gejolak fenomena di Indonesia, termasuk kemampuan mereka (Najwa Shihab dkk) memberikan pengaruh kepada masyarakat. Apa yang terjadi saat ini di KPU dapat menunjukkan kepada kita untuk tidak bergantung pada sebuah program tayangan televisi dan berharap dapat mengubah kinerja pihak-pihak yang berkaitan dengan sistem kenegaraan.

Kita harus memaklumi ini dan memahami ini. walau begitu, kita tetap harus mengapresiasi para rekan media massa yang sudah berupaya maksimal untuk membuat segalanya berjalan seperti ekspektasi (bagi rakyat). Termasuk mengharapkan adanya ketegasan perlakuan dari KPU terhadap caleg eks-koruptor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline