Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

12 Tahun Lumpur Lapindo dan Masa Depan Jombang

Diperbarui: 4 Juni 2018   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com/bahana patria gupta

Tak terasa tepat 29 Mei kemarin sudah 12 tahun bencana Lumpur Lapindo terjadi di kawasan Sidoarjo. Masih ingatkah kita? Bila masih ingat, apa yang bisa diambil pelajaran dari 12 tahun lumpur Lapindo itu? 

Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat diambil dari bencana ekologi lumpur Lapindo. Pertama, dibelokannya persoalan ganti rugi korban lumpur menjadi sekedar jual beli aset. Pembelokan ini ternyata berdampak luas bagi pengabaian hak-hak rakyat yang menjadi korban.

Salah satu dampak nyata dari pembelokan ganti rugi mejadi jual beli aset rumah dan tanah yang tenggelam oleh lumpur itu adalah diabaikannya persoalan kesehatan dalam skema ganti rugi, baik oleh pemerintah maupun dari pihak Lapindo.

Padahal kalau dilihat lagi, dampak semburan lumpur Lapindo bukan hanya sekadar persoalan hilangnya tanah dan rumah melainkan juga kerusakan lingkungan hidup yang berakibat pada meningkatnya biaya kesehatan warga.

Terkait dengan polusi udara misalnya, Gubernur Jawa Timur pada tahun 2008 silam pernah mengeluarkan surat rekomendasi yang mengungkapkan bahwa angka hidrokarbon di udara kawasan Porong telah mencapai 55.000 ppm dari ambang batas normal 0,24 ppm. 

Polusi udara di Porong, Sidoarjo setelah munculnya semburan lumpur Lapindo juga terlihat dari peningkatan jumlah penderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Catatan Walhi Jawa Timur pada tahun 2008 silam, misalnya, mengungkapkan bahwa, jumlah penderita ISPA melonjak menjadi 46 ribu orang. Apakah persoalan ini masuk dalam perhitungan ganti rugi korban lumpur? Jawabnya jelas tidak. 

Celakanya, hingga 12 tahun lumpur Lapindo menghancurkan Porong, tidak jelas pihak yang harus bertanggungjawab memulihkan alam yang telah hancur akibat bencana ekologi itu.

Kedua, terbelahnya para ahli dalam menyikapi persoalan semburan lumpur Lapindo.  Ada ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur itu bencana alam. Namun, ahli yang lain berpendapat semburan lumpur Lapindo itu adalah akibat pengeboran. Hingga kini pendapat para ahli itu masih terbelah. 

Ada baiknya kita mulai melihat kembali difinisi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) terkait beberapa istilah tentang bencana. Dengan difinisi dari BNPB itu kita akan lebih jernih mengklasifikasikan apakah semburan lumpur Lapindo itu bencana alam atau bencana ekologi, atau justru kecelakaan industri.

Terbelahnya para ahli dalam melihat penyebab semburan lumpur di Sidoarjo itu juga sebuah pelajaran penting bagi masyarakat, utamanya mereka yang berada di kawasan yang kaya sumberdaya mineral. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline