Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Antara Sastra dan Religiositas

Diperbarui: 29 Oktober 2022   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul buku Sastra dan Religiositas (Dokpri)

Y.B. Manungwijawa adalah pemenang hadiah sastra 1982, dari Dewan Kesenian Jakarta untuk esei atau kritik sastra. Karya seorang rohaniwan yang lebih akrab dipanggil Romo Mangun ini, diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Kanisius dengan judul "Sastra dan Religiositas". 

Artikel ini, merupakan sebuah resume dari buku yang dicetak pada tahun 1988 tersebut. Bagi saya, ini adalah salah satu buku zaman lawas, tapi pesannya laras zaman. 

Pada pengantar buku itu, Romo Mangun mengatakan bahwa di samping penelitian yang bersifat ilmiah, untuk memahami dan menolong manusia serta masyarakat, dunia sastra masih tetap memegang peran vital dalam bidang yang sama. Dalam dimensi-dimensi yang begitu dalam seperti religiositas manusia yang menentukan sikap kita terhadap diri sendiri, buah-buah sastra mengisi apa yang tidak mungkin diisi oleh ilmu pengetahuan dan ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan lain. 

Pengolahan religius manusia lazimnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan persentuhan citarasa, sarana sastra sangat bermanfaat.

Religius/ Religiositas dan Religi (Agama)

Penulis Novel Burung-burung Manyar ini dalam buku Sastra dan Religius mengawali bab pertama bukunya dengan judul Pada Awal Mula. Ya, pada awal mula Segala Sastra Adalah Religius. Sengaja di sini tidak dipakai istilah agama atau religi, tetapi religius atau religiositas. Ia kemudian menjelaskan secara panjang lebar tentang agama dan religiositas. 

Baginya, agama lebih menunjuk pada sebuah lembaga kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. 

Sedangkan religiositas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati", riak getaran hati nurani pribadi: sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, "du coeur" dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia.

Dengan demikian, religiositas lebih dalam dari agama yang tampaknya formal, resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim. Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religiosus juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. 

Dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau kasir politik: cukup beragama "statistik" belaka. Ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakikatnya religius. 

Di negeri ini kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama, tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Mahabaik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkah jauh dari sikap religius otentik. Tentulah di sini istilah agama tidak diambil dalam arti definisi politik kenegaraan atau politik kekuasaan, tetapi dalam realita kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline