Lihat ke Halaman Asli

Darwin Malakuin

Pencari Makna

Siapa Layak Menjadi Wakil Rakyat?

Diperbarui: 29 Maret 2019   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Ilustrasi/kompas.com

Hemat saya, pemilu 2019 merupakan kontestasi pemilu yang menarik, setidaknya dari sisi keterlibatan kaum millenial dan munculnya banyak wajah baru dalam kontestasi politik praktis. Anggapan itu merujuk pada data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), yang menunjukkan data bahwa sebanyak 21 persen caleg pada pemilu legislatif 2019 adalah caleg millenial, yakni yang berusia 21-35 tahun, sebanyak 68 persennya adalah usia 36-59 dan 11 persen sisanya berusia 60-an keatas.

Mereka yang maju sebagai caleg disaat usia yang muda terbilang nekat dan patut diapresiasi. Hal itu mengingat situasi politik saat pemilu kita saat ini yang sarat akan hegemoni politik dan primordialisme "kaum tua" yang sulit digeser. Belum ditambah dengan pengalaman dan strategi politik yang matang serta modal biaya yang cukup kuat, berat bagi para caleg millenial.

Tentu saja, hal tersebut menjadi tantangan berat bagi para caleg millenial dan wajah-wajah baru yang terjun lapangan menimba pengalaman berpolitik. Terlepas dari banyaknya kesan soal "caleg pencari kerja", munculnya wajah baru dalam pemilihan legislatif ini tentu bisa saja membawa harapan baru bagi kehidupan demokrasi kita dan juga prospek pembangunan lima tahun mendatang.

Pemilihan umum bukan hanya soal menang kala. Bukan juga soal siapa yang meraup suara terbanyak, melakukan parade kemenangan dan menghamburkan uang tanda syukur atas pencapaian yang diraih. Itu tak pantas dipertontonkan, karena kemenangan itu bukanlah prestasi.

Pemilihan wakil rakyat lebih dari itu menjadi sebuah tonggak sejarah baru bagaimana dan kearah mana bangsa ini akan dibangun. Prinsip humanisme dan mengedepankan kaum proletariat adalah hal yang paling utama. Itu adalah nilai dan prinsip luhur yang wajib diutamakan dalam kehidupan demokrasi.

Saat ini, angka kemiskinan dan kesenjangan pambangunan di negeri ini masih sangat tinggi. Terlepas dari kesuksesan pemerintahan saat ini (era Pak Jokowi) dalam pembangunan infrastruktur yang cukup luar biasa, pada skala terkecil pembangunan di pelosok-pelosok daerah masih sangat jauh. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian utama pemerintah agar konsep pemerataan pembangunan tercapai. Untuk itu, suara-suara rakyat dari sudut-sudut terkecil patut disuarakan dengan pengeras suara pembawa perubahan.

Disinilah tugas wakil rakyat itu sebagai pengejawantahan vox Populi vox Dei. Bahwasannya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Amanah yang diberikan pada anggota legislatif adalah bentuk kepercayaan yang besar rakyat yang bukan mengemis perubahan, tetapi memperoleh hak asasi mereka yakni kehidupan yang layak.

Karena itu, sebagai "Tuhan-nya demokrasi" tugas kita hanyalah memilih utusan kita yang terbaik untuk duduk di bangku legislatif. Memilih wakil yang bukan mencalonkan diri karena ketiadaan pekerjaan dan minim prestasi serta nihil keterampilan. Mereka yang kita pilih hendaklah orang-orang yang betul-betul mau menjadi suara kita sendiri.

Pilihlah caleg yang memiliki rekam jejak yang jelas, visi-misi serta program-program yang nyata. Politik uang bukanlah sesuatu yang baik dalam kehidupan demokrasi. Berapapun nominalnya, itu adalah bentuk penghinaan terhadap rakyat. Siapapun pelaku yang terlibat dalam politik uang, itu adalah bentuk kerendahan moral politik dan pelecehan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline