Lihat ke Halaman Asli

Ali Mahfud

Pemerhati pendidikan, politik, sepak bola, dan penikmat es kelapa muda

Unidentified Love Story

Diperbarui: 1 Desember 2019   04:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Passkenadihati.blogspot.com

Musim kemarau.

Sungai Nayan tampak kering. Warna air yang menggenang, tak lagi mengalir seperti layaknya sungai pada umumnya, berubah biru. Bau amis cukup menyengat. Siapa pun yang melewati jembatan penyeberangan yang melintang di atas sungai itu pasti akan menutup hidung. Atau sekedar menahan napas.

Belakangan musim sering tak tentu. Di bulan November yang seharusnya sudah mulai hujan kekeringan masih melanda di mana-mana. Ketidaktentuan musim ini tentu mempengaruhi siklus tanam padi di ladang yang sangat mengandalkan musim. Orang-orang tua kesulitan menentukan waktu kapan harus membakar ladang, kapan harus mulai menanam. 

Sungai itu, pada rentang tahun 80 hingga 90an dulu, sering menampakkan keindahan dasarnya yang berhias ikan-ikan. Siapa pun yang melintas atau bermain rakit di atasnya pasti bisa dengan mudah menikmati keindahan dasar sungai yang jernih dan bersih. Air sungai pada waktu itu masih segar. Orang-orang bahkan sering meminumnya langsung, tanpa di masak. Dan itu sudah menjadi adat kebiasaan mereka. Meski begitu tak ada penduduk yang merasakan sakit perut atau dampak buruk lain dari mengonsumsi air mentah. 

Keadaan berubah sangat drastis sejak eksploitasi lahan oleh beberapa perusahaan asing yang datang bergelombang. Mereka mendirikan perkebunan sawit di mana-mana. Setiap ada kesempatan untuk mengeksekusi lahan, tanpa ambil tempo akan mereka sikat. Entah bagaimana caranya. Masyarakat kecil, rakyat jelata yang sejatinya adalah pemilik negeri ini, hanya menerima akibat buruk dari kebebasan berinvestasi yang dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. 

Air sungai berubah warna. Volumenya berkurang. Baunya tak enak. Dan rasanya aneh. Tak ada lagi penduduk yang berani mengonsumsinya tanpa dimasak lebih dulu. 

Terlalu berisiko.

Sudah banyak orang yang menjadi korban atas buruknya kualitas air sungai yang menjadi pusat kehidupan seluruh penduduk kampung.

 Sore hari yang terang, sekitar pukul lima sore waktu Indonesia tengah, dari jarak yang tak begitu jauh kedua mata Rafa menangkap sesosok tubuh yang tak asing baginya. Ia tampak melangkah pelan mendekat ke tepi sungai Nayan seorang diri. Menggendong ember di pinggang, ember kecil yang sudah gompal bagian bibirnya dan pudar warna aslinya, Rila tampak sudah baikan.

Ia tak lagi terlihat seperti orang sakit. Padahal biasanya butuh waktu setidaknya satu minggu bagi siapa pun yang sakit parah usai diadakan upacara beliant untuk bisa kembali pulih seperti semula. Tapi Rila tak seperti kebanyakan orang. Setidaknya itu yang tertangkap kedua mata Rafa. 

Rafa masih ingat betul. Remaja yang baru saja lulus SMA itu masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana keadaan Rila sewaktu sekarat. Dua minggu, kurang lebih, rumahnya tak pernah sepi dari rapalan doa-doa para pemeliant yang memohon kesembuhannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline